Jumat, 08 Januari 2016

Dede Jadi Kakak

"De, handuknya tolong langsung dijemur, ya," aku mengingatkan Raysa.
Raysa diam saja, seperti tidak mendengar. "De, tolong handuknya," aku mengulangi sepotong saja, yakin Raysa hanya pura-pura tak mendengar. "De, ibu didenger ngga?" ini ketiga kalinya dan ajaib, Raysa langsung mendongak. "Handuk siapa?" tanyanya spontan. Aku tersenyum menarik napas, "Maaf, Kakak, tolong handuknya langsung dijemur."
Setelah 6 tahun menjadi bungsu, sekarang Raysa sudah punya adik. Dia tak mau lagi dipanggil 'Dek'. Sekarang Raysa adalah 'Kakak'.
Menjadi 'Kakak' berarti punya tanggungjawab terhadap adiknya. Raysa senang sekali menjadi penjaga adiknya. Ia akan bernyanyi untuk adiknya, mengajaknya bicara, bahkan muroja'ah di hadapan adiknya. Untuk urusan momong, Raysa sedikit demi sedikit sudah berevolusi menjadi ahli.
Yang susah 'move on' itu ayah ibunya. Masih saja menganggap Raysa sebagai 'puteri kecilnya'. "Aku udah jadi 'Kakak', Ibu."

Kamis, 07 Januari 2016

Diet TV

"Anak-anak kalo belajar di sini?" tanya seorang teman yang datang bertandang. Dia tahu kami melaksanakan homeschooling, alias belajar di rumah. Keheranannya muncul ketika mengetahui kami belajar di depan TV yang mati, "Ngga terganggu, ya, konsentrasinya?"
"Ngga, kita udah sepakat soal waktu nonton TV," aku menjawab ringan.
Di rumah kami TV hanya menyala 2-3 jam perhari. Awalnya saya pun tidak percaya diri untuk melepaskan anak dari TV, mungkinkah?
Ternyata mungkin. TV baru boleh dinyalakan setelah semua pekerjaan selesai. Lalu selama waktu belajar, TV harus dimatikan. Akhirnya kotak hitam itu baru dinyalakan lagi setelah shalat zhuhur hingga waktu tidur siang. Sore hari, setelah bangun tidur hingga maghrib. Sedangkan malam hari, waktu menonton adalah selepas shalat isya hingga waktu tidur malam.
Jika sedang bersemangat menggarap proyeknya, anak-anak malah lupa untuk menyalakan TV. Jadilah Novel sibuk menggambar, Raysa sibuk bercerita, dan kotak hitam itu pun terabaikan.
Yah, ternyata bisa saja hidup tanpa menyalakan TV seharian. 

Anak dan Gadget

Apa manfaat laptop? Tanyakan pertanyaan ini pada generasi kita, para orangtua yang dibesarkan tahun 90-an, generasi terakhir yang masih main bentengan di halaman rumah. Jawabannya bisa bermacam-macam. Untuk menulis laporan, untuk menganalisis data, untuk menulis skripsi, dan banyak lagi. Tanyakan pertanyaan ini pada generasi anak-anak kita, generasi yang dibesarkan dalam pesatnya revolusi teknologi informasi. Jawabannya bisa jadi seragam, buat ngegame atau nonton video.
Jangan salahkan mereka. Game dan video adalah dua fitur yang pertama kali kita kenalkan pada mereka. Mereka dibesarkan dengan dua fitur ini. Banyak orangtua yang dengan sengaja mengunduh berbagai video anak untuk dipertontonkan pada mereka sejak masih balita. Game-game edukatif yang bertebaran juga sangat menggoda untuk diinstal dan diajarkan pada anak.
Jangan salahkan mereka. Fitur game mungkin juga fitur yang paling sering digunakan kedua orangtuanya, di ponsel atau di laptop. Wajar bukan jika mereka juga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa laptop atau ponsel gunanya untuk main.
Sekarang bertebaran informasi mengenai bahaya gadget untuk anak. Dengan informasi ini, diharapkan orangtua sadar dan menjauhkan gadget dari anak-anak mereka. Tapi saya ragu, ini akan berhasil.
Yang jadi masalah bukan anaknya, tapi orangtuanya. Bagaimana anak akan melepaskan gadget dari tangan mereka jika orangtua sudah tak bisa jauh-jauh dari gadget?
Jadi, menurut saya, yang pertama harus berubah adalah orangtuanya. Orangtua harus mampu menjauhkan gadget dari tangan saat bersama anak-anak. Mendengarkan anak-anak dan ikut bermain bersama mereka. Saya kira, hanya dengan cara ini, anak-anak dapat menjauhkan dirinya dari berbagai gadget.

Selasa, 05 Januari 2016

Keluargaku



Memandang kertas putih itu sangat menyebalkan! Ah! Kenapa harus ada tugas Bahasa Indonesia? Rasanya ingin menghantamkan kepala ke tembok itu. Kepalaku pusing memikirkan kata-kata. Bagaimana harus memulai sebuah karangan?
Aku menarik napas. Kulihat Mama membetulkan letak kacamatanya sambil memperhatikan layar ponsel. Setiap saat, hanya itu yang Mama lakukan. Matanya hanya beralih dari layar ponsel ke layar laptop lalu layar ponsel lagi dan kemudian laptop lagi. Kapan mata Mama beralih padaku?
Kertas putih di hadapanku masih kosong. Ups! Salah! Aku tahu sekarang, apa yang harus kutulis. ‘Keluargaku’, tema tugas kali ini bisa kujadikan judul, setidaknya mengurangi intimidasi dari kertas putih. Tapi, apa yang harus kutulis tentang ‘keluargaku’?
Mama masih memegang ponsel. Sekarang matanya menekuri layar laptop. Jarinya mahir bermain di atas keyboard. Aku menahan napas, hanya Mama keluarga yang kupunya. Mungkin, sebaiknya aku menuliskan tentang Mama saja?
Papaku entah dimana. Mama bilang, dia pergi tapi sampai sekarang tak pernah kembali. Kukira Papa sudah mati, tapi Mama tak pernah mau menunjukkan kuburnya berapa kali pun aku meminta. Setidaknya, dia sudah mati dalam kehidupanku. Jadi, biarlah kukeluarkan Papa dari daftar ‘keluargaku’.
Tinggal Mama, satu-satunya yang ada dalam daftar keluarga. Tapi, rasanya Mama pun sudah tak ada. Dia selalu duduk di sana, di balik meja kerjanya. Berkutat dengan kertas-kertas nota dan layar-layar berpendar. Sesekali ia pindah untuk mengemas barang. Pebisnis online memang tak perlu toko, cukup ponsel, laptop, dan barang. Kurasa aku pun sudah ‘mati’ dalam kehidupan Mama. Aku melirik kalender meja di hadapan, kapan terakhir kali bicara dengan Mama, ya?
Apa keluarga namanya jika kami tak pernah saling bicara? Bertatapan mata pun aku sudah lupa rasanya. Apa keluarga namanya jika aku tak pernah bertatapan mata dengan Mama?
“Miaw!” Catie datang menghampiriku.
“Hai, Catie!” kuraih ia masuk dalam pelukanku, “kemana aja kamu? Kok baru pulang?”
“Miaw!” Catie menggosokkan kupingnya ke daguku.
“Ih, geli, ah!” Kutatap mata Catie. Dia balas menatapku, tersenyum padaku.
Aku tahu sekarang! Akan kutulis tentang Catie. Satu-satunya keluargaku.

Senin, 04 Januari 2016

Mengulum Tangan

Pasti pernah, dong, melihat bayi menghisap jari jemarinya? Reaksi para ibu pastilah akan mengeluarkan jari-jari bayinya secepat kilat. Saya pun akan melakukan hal yang sama. Jari bayi belum tentu bersih. Bisa jadi ada bakteri di sana, nanti kena penyakit menular, dan seterusnya kekhawatiran normal semua ibu.
Sampai suatu hari ketika bayi Aida yang baru berusia 2 bulan menghisap jari-jarinya. Saya melihat sesuatu yang lain. Aida begitu kesulitan membawa jari-jari mungilnya itu tepat ke mulut. Kadang melenceng ke pipi, kadang meleset ke mata. Tampaknya butuh perjuangan hebat demi memasukkan jari ke mulut.
Awalnya, bukan jari yang masuk, tapi punggung tangan. Tahap kedua buku-buku jari berhasil dihisap. Selanjutnya baru telunjuk masuk ke dalam mulut. Luar biasa, bukan, perjuangan bayi 2 bulan ini?
Saya percaya bahwa tiap tahap perkembangan bayi merupakan pondasi untuk melaju ke tahap berikutnya. Begitu pula tahapan menghisap jari ini. Apakah yang dipelajari bayi dari aktivitas ini? Pertanyaan ini begitu mengusik hingga saya membayangkan diri saya sendiri melakukannya.
Saya teringat salah satu artikel yang mengatakan bahwa masa 0-7tahun kehidupan adalah waktunya bagi anak untuk memetakan seluruh anggota tubuhnya. Mungkin inilah yang dilakukan bayi dengan mengulum tangannya. Otaknya sedang memetakan tangan. Mulut adalah organ sensori yang paling awal aktif. Di mulut bayi merasakan sentuhan puting susu ibunya juga mencicipi rasa susu dari ibunya. Berdasarkan pengalaman sensori mulut, otak memetakan tangan dan menjadikannya organ sensori baru.
Gerakan tangan ke mulut juga membutuhkan koordinasi. Di usia 2,5 bulan, Aida melihat tangannya sendiri dan mengikuti gerakan tangan dengan matanya. Ia mulai melakukan koordinasi antara mata, tangan, dan mulut. Aktivitas ini sangat dibutuhkan nantinya untuk membawa masuk makanan ke dalam mulut. Wow! Saya nyaris berteriak ketika menyadari ini.
Yang terjadi selanjutnya adalah dilema. Apakah saya akan membiarkan Aida merasakan sensasi tangan di mulut atau mengeluarkan tangannya dari mulut?