Sabtu, 24 Maret 2012

Ikut Lomba, Penting Ga Seeeeehhhh...?






Kemarin menemani Novel mengikuti Lomba Porseni IGTKI Bekasi di Ancol. Sesuai dengan mandat dari Bu Guru, "Kumpul jam 6, di sekolah, ya...." Dengan susah payah Novel dibangunkan jam 5 pagi dan sepertinya rata-rata anak-anak yang lain juga begitu. Akhirnya ia berhasil dibawa ke kamar mandi setelah 15 menit yang penuh perjuangan. Sesuai dengan kebiasaan kami, setelah mandi harus sarapan, baru setelah itu bisa pergi ke mana-mana. Novel membutuhkan waktu 1 jam untuk sarapan. Akhirnya kira-kira jam 6 ia baru selesai sarapan dan dilanjutkan dengan persiapan berangkat. Pake kaos kaki, menyalakan motor, lalu berangkat.
menunggu berangkat

Kami sampai di sekolah kurang lebih jam 6 lebih 15 menit. Anak-anak sudah banyak yang datang beserta orangtuanya. Wow...ternyata bawaan mereka banyak sekali. Benar-benar piknik! Akhirnya rombongan masuk bis pukul 7. Bayangkan berapa lama anak-anak harus menunggu. Mereka sudah mulai bosan saat akhirnya masuk bis juga. Kurang lebih pukul 7.30 kami bertolak meninggalkan sekolah.

Sampai di Ancol kurang lebih pukul 9. Setelah muter-muter nyari parkiran, kami baru sampai di lokasi lomba pukul 9.30. Sesampainya di sana, Novel sudah kelaparan dan langsung melahap habis jatah makan siang. Pukul 10 lebih, barulah kami beranjak ke lokasi lomba estafet air.

Capeeeeee....!
Terjadi sedikit kepanikan di sini. Ternyata metode lomba estafet air yang digunakan di sini berbeda dengan yang digunakan saat latihan. Di sini tiap-tiap anak memegang gelas. Orang pertama mengambil air dengan gelas lalu menuangkannya ke gelas orang ketiga, dan begitu seterusnya hingga orang terakhir memasukkan air ke dalam botol. Yang paling banyak airnya menang. Sementara pada saat latihan, gelas yang digunakan hanya satu. Orang pertama mengambil air, kemudian memberikan gelas berisi air ke orang kedua, dan begitu seterusnya hingga orang terakhir memasukkannya ke dalam baskom, lalu gelas kosong dioper lagi hingga orang pertama.

Bu Tika dengan pikiran positifnya yang kreatif kemudian meminjam botol air mineral dan menggelar latihan singkat. Tapi anak-anak TK yang sedang dalam masa penalaran konkret, kurang dapat membayangkan apa yang diminta oleh Bu Tika. Novel protes keras karena lombanya berbeda dengan latihan. Ia bilang, "Lagian susah banget!" Bu Tika tidak berhasil membujuk karena pikirannya tertutup oleh kepanikan. Bu Dewi lebih panik lagi, dan aku pikir kita tidak membutuhkan lomba ini. "Udah, kita langsung pulang aja, ke bis!" mendengar ini Novel malah girang, "Kita pulang...kita pulang..."

Jadi siapa yang butuh lomba? "Tapi kita juga ga jadi ke pantai, ya?" Novel tidak suka. Dia mau main-main di pantai. Yah...masa anak-anak kan masa bermain, perlombaan, pencapaian prestasi, atau apa pun namanya seharusnya berada dalam koridor main-main ini. Kalo main-mainnya hilang, maka manfaat dari lomba pun akan hilang.

Akhirnya Novel ikut juga Lomba Estafet Air, "Novel kan orang pertama. Orang pertama itu penting, dia harus mengambil air paling banyak buat dikasih ke teman-temannya..." Karena merasa penting dan dibutuhkan, ia pun mau ikut lomba.

susunan tim sebelum berkurang 1
Akhirnya kami ikut berdesak-desakan melihat lomba yang berlangsung. Dengan cara inilah anak-anak belajar, melihat dan meniru. Kebetulan kami berdiri di dekat stok air sehingga Novel berkesempatan latihan sedikit mengambil air dengan gelas Aqua. Tentu saja ia senang, anak mana yang menolak main-main air.

Waktu menunggu ternyata terlalu lama, anak-anak banyak yang bosan. 2 tim kehilangan 1 anak (termasuk tim TK Tahta Syajar) karena ngambek ga mau ikut lomba. 1 tim didiskualifikasi karena mendapat bantuan dari orangtua murid. Ahhh...selalu saja orangtua yang ribut. Sebenarnya untuk apa lomba ini?

Cepat ambil air lagi!
Lomba ini kehilangan esensinya. Seharusnya lomba bisa jadi ajang mengasah kreativitas atau pun bakat dalam situasi bermain. Nafsu untuk berprestasi sering membuat kita, para orangtua, lupa akan inti dari lomba ini bagi anak-anak. Anak-anak sebenarnya tidak membutuhkan kemenangan, kitalah yang mengajarkan mereka tentang buruknya kekalahan dan usaha-usaha menghindarinya.

Hmmm....aku jadi meragukan manfaat lomba ini buat anak-anak. Perjalanan yang jauh dan melelahkan, penantian yang panjang dan membosankan, hingga akhirnya tidak sampai lima menit lomba yang tidak jelas maksudnya.

yak! jangan sampai tumpah!
Satu hal yang dilupakan adalah "bermain". Panitia, guru, dan orangtua lupa bahwa masa anak-anak adalah masa bermain. Suasana permainan yang harusnya menjadi ruh dari lomba ini menghilang dan digantikan dengan suasana kompetisi yang menegangkan. Anak-anak yang tidak siap, lelah, dan bosan akhirnya keluar dari permainan.

Aku teringat tulisan Erbe Sentanu dalam "Quantum Ikhlas". Ia mengkritisi suasana kompetisi yang dibangun di sekolah-sekolah "bagus". Ia menyayangkan pola pikir guru-guru yang melihat dunia sebagai padang kompetisi, semua orang berjuang untuk menang. Padahal seharusnya suasana yang kita bangun adalah suasana kerjasama. Tiap-tiap orang harus bekerjasama agar membentuk sinergi. Penyatuan kekuatan yang berbeda-beda demi satu tujuan yang sama, itulah sinergi. Sinergi-lah yang membuat alam semesta ini dapat berjalan di koridornya. Sinergi-lah yang membuat banyak perusahaan yang hampir bangkrut dapat bertahan.

Jadi sebenarnya untuk apa kita melatih anak-anak kita untuk berkompetisi?

Aku mulai meragukan manfaat dari lomba-lomba ini....

Kita, Aku, dan Saya

Saya agak sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca salah satu aitem dalam kemampuan sosial di buku laporan sekolah Novel. Aitem itu menekankan pada penggunaan kata aku atau saya untuk menyebut diri sendiri.

Menurut saya, ini aitem yang aneh. Mengapa seorang anak TK B yang rata-rata berusia 5 tahunan, wajib menyebut diri sendiri dengan sebutan aku? Apakah ini merupakan aplikasi dari tugas perkembangan mengenai pembentukan self? Apakah terbentuk atau tidaknya self dapat dilihat dari penggunaan kata aku atau saya?

Yah...kalau kita hidup di lingkungan yang menggunakan kata aku atau saya sebagai kata ganti orang pertama, maka aitem ini jadi sah-sah saja. Tapi TK Novel terletak di Bekasi, di mana banyak orang dari banyak suku bangsa tumplek di sini. Apakah aitem ini sudah sesuai dengan budaya Bekasi? Apakah aitem ini sudah dapat diterapkan di Bekasi yang dihuni oleh beragam suku bangsa dan budaya?

Karenanya saya berkesimpulan: aitem ini sangat tidak ramah budaya. Saya tidak tahu apakah aitem ini juga ada di semua rapor anak TK di seluruh Indonesia. Saya lahir di keluarga Minang yang kental sekali menggunakan budaya Minang. Dalam budaya Minang, sangat tidak sopan untuk menyebut diri dengan sebutan "Aku". Anak yang menyebut dirinya dengan sebutan "Aku" akan dianggap tidak sopan, atau dalam bahasa Betawi sini disebut songong alias tidak menghormati orangtua. Dalam budaya Minang, penyebutan diri sendiri pada orang yang sudah dianggap dekat atau pada orangtua adalah dengan menyebut nama. Sedangkan penyebutan diri sendiri untuk orang yang belum dikenal dekat atau yang lebih tua atau yang dihormati adalah, "Ambo". Sementara kata yang sepadan dengan "Aku" dalam bahasa Minang adalah "Den" atau "Aden" dianggap sebagai kata yang rendah kastanya, yang hanya diucapkan pada orang yang sangat dikenal dekat atau orangtua pada anaknya.

Dalam Bahasa Jawa terdapat setidaknya dua kata untuk menyebut diri. Pertama adalah kata "Aku" yang merupakan kata ganti orang pertama dalam bahasa ngoko atau bahasa level rendah. Kata ini digunakan untuk berbicara pada orang yang sudah dikenal, atau orangtua pada anaknya, atau yang tua kepada yang muda, atau yang kedudukan sosialnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Kata ini juga digunakan dalam pembicaraan dengan teman sebaya. Kedua adalah kata "Kula" (dibaca kulo dengan vokal o antara a dan o). Kata ini adalah kata ganti orang pertama dalam bahasa krama (dibaca kromo). Kata ini digunakan anak kepada orangtuanya, atau yang kedudukan sosialnya lebih rendah kepada yang lebih tinggi, atau yang muda kepada yang tua, atau dalam pembicaraan dengan orang-orang yang belum dikenal akrab. Kata ini dianggap lebih halus daripada kata "Aku".

Nah, Novel terbiasa menggunakan kata "Kita" untuk menyebut dirinya. Sebagai penutur Bahasa Indonesia, tentunya aku menganggap kata "Kita" sebagai kata ganti orang pertama yang menyatukan antara orang pertama dan kedua: "Kita = Aku + Kamu".

Awalnya aku berusaha agar Novel menggunakan kata "Kita" sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hingga suatu hari saat naik angkot, aku mendengar sopir angkotnya menggunakan kata "Kita" sebagai pengganti kata "Aku". Kata "Kita" ternyata adalah kata ganti orang pertama tunggal dalam bahasa Betawi Bekasi. Penggunaannya sepadan dengan kata "Kula" dalam bahasa Jawa atau "Ambo" dalam bahasa Minang. Dengan kata lain, dalam konteks Bahasa Betawi Bekasi, Novel sudah berbicara dalam bahasa yang halus. Jadi, kenapa harus khawatir?

Akhirnya, aku membiarkannya menggunakan kata "Kita" sebagai kata ganti orang pertama. Toh, itu bukan kata kasar, itu bukan kata kotor. Malahan kata "Kita" adalah kata yang halus, yang berarti Novel menggunakan kata-kata yang baik...jadi biarkan saja. Lagipula kami tinggal di Bekasi, apa salahnya Novel menggunakan Bahasa Betawi Bekasi selama bahasa yang digunakan adalah bahasa yang baik. Bukan begitu, Ayah Bunda?

Raysa in Action

Raysa suka banget bergaya...begitu liat ibunya pegang kamera...langsung deh melonjak-lonjak foto-foto. Tidak seperti Novel yang antusias untuk memotret, Raysa justru antusias untuk dipotret.

Ternyata tiap anak memang beda-beda ya...dulu kupikir, emang dari sononya anak-anak suka bergaya di depan kamera. Tapi ternyata ada yang memang suka bergaya di depan kamera, tapi ada juga yang lebih peduli pada proses terciptanya gambar di kamera, hehehe.
Anak ibu termasuk yang mana?
Termasuk yang mana pun ga masalah kan? Saya pernah membaca ungkapan, "Orangtua hanya perlu menyediakan pesawat sebagai sarana bagi anak untuk melejit, terbang tinggi". Mengenai ke mana si anak ingin atau akan terbang, biarlah anaknya yang memutuskan.

Namanya juga menyediakan pesawat, pasti biayanya mahal ya, Bun...Tapi kalau mau terbang, ya...pake pesawat...hehehe. Yang saya maksud biaya di sini bukan cuma biaya material yang bisa dihitung dengan uang, tapi mungkin juga yang tak terhitung oleh uang. Ketika usia Novel 3,5-an tahun, ia sudah bisa membaca. Saat itu kami memiliki kamera poket berbahasa Indonesia. Novel pun sudah pandai mengutak-atik kamera karena menunya berbahasa Indonesia. Suatu sore ia melapor, "Ayah, fotonya udah kita apus semua." Ayah hanya bisa melongo, foto-foto di memory card belum sempat ditransfer ke laptop. Itu berarti memori ketika Raysa aqiqah, ketika jalan-jalan sama Eyang, hilang semua....hiks....Yah...biaya dari sebuah eksplorasi.

Asal orangtua cukup perhatian terhadap anak, bakat anak akan bisa terdeteksi sejak dini. Trus kalo udah ketahuan gimana? Yah...tinggal dikembangkan aja, hehehe...

Trus gimana ngembanginnya? Setelah umur tujuh tahun mungkin bisa diikutkan sekolah berbasis talent yang sesuai dengan bakatnya. Tapi kalo masih di bawah tujuh tahun, biar saja dia bermain-main dulu. Seperti Raysa bermain-main dengan gayanya, atau Novel bermain-main dengan bola atau resep masakannya. Ga usah buru-buru, Bunda...jangan sampai bakat besar anak-anak kita layu sebelum berkembang karena salah dalam mengasahnya... Yuk Raysa...gaya cantiknya mannnnaaaaa....

Selasa, 20 Maret 2012

Raysa dan Warna

"Ni ijo," kata Raysa sambil memegang bolpen biru. Di kali lain, "Ibu yang biru, ya..." kata Raysa sambil menyodorkan balok merah. Hehehe....lucu banget Raysa. Sepertinya sangat suka main-main warna tapi selalu salah menyebutkan warna. Kadang-kadang merah dibilang biru, kali lain biru dibilang hijau.

Kadang-kadang sih bener, coklat dibilang coklat...tapi..lebih banyak salahnya....hehehe...

Sudahlah...sabar ya, Bu...

Beberapa hari yang lalu Raysa tertarik dengan warna baju Ibu. Warnanya pink. Sekarang alhamdulillah Raysa sudah mulai kenal warna pink...tetap sabar ya, Bu...dan semangat..;-)

"Ayo, mana warna pink?" Raysa merespon dengan menunjuk warna pink, "pinter!". "Sekarang ijo!" Raysa merespon dengan menunjuk warna kuning...hehehe...