Kamis, 08 Desember 2011

Raysa's Comfort Zone

Raysa manjat teralis
Sejak diajarin Novel manjat teralis, hingga sekarang sudah lumayan pinter manjat teralis, Raysa punya tempat rahasia baru: di balik gorden jendela menghadap keluar. Tempat ini menjadi tempat aman baginya untuk melakukan hal-hal yang dilarang.

Raysa tahu bahwa ia tidak boleh menulis di tangan atau kaki. Kalau mau menulis, dia boleh menulis di kertas, Ibu akan mengambilkan kertas buat Raysa, bahkan Raysa juga punya buku sendiri buat tulis menulis. Raysa juga boleh menulis di buku gambar. Nah, kalau dia ingin menulis di tangan atau kaki lagi, dia akan masuk ke balik tirai, melingkupi diri dengan tirai, dan mulai menulis. Kalau ketahuan dia akan menunjukkan muka ngeles seolah bilang, "O ow, aku ketahuan!" xixixi, lucu banget liatnya.

Raysa juga tahu, dia ga boleh sembarangan memainkan lipstik dan bedak Ibu. Kalau Raysa mau, Raysa boleh pake, nanti Ibu yang akan membantu memakaikan. Tapi Raysa tetap penasaran pake lipstik sendiri. Dia pun membawa lipstik Ibu ke balik tirai, melingkupi diri dengan tirai, dan mulai bermain-main dengan lipstik. Hasilnya tempat tidur penuh lipstik. Bantal guling pun belepotan lipstik, sepertinya Raysa mendandani bantal guling supaya cantik. Lipbalm Ibu pun lepas dari sarangnya...weleh-weleh...

Yah...itulah Raysa's Comfort Zone, tempat yang nyaman bagi Raysa untuk melakukan apa saja. Terpisah dari orang-orang dan membuatnya seperti menghilang. Kalau kehilangan Raysa, carilah di balik tirai....

Selasa, 06 Desember 2011

Bebek dan Kodok, Cerpen Pertama Karangan Novel


Ini adalah karangan Novel yang pertama. Ketika itu Novel baru berusia 3 tahun. Sepulang dari Bimba dia menceritakan kisah ini. Karena diceritakan langsung tanpa ditulis, sebenarnya Novel tidak membuat judul untuk ceritanya ini...Ibu-lah yang memberinya judul, Bebek dan Kodok. Juga ada beberapa penambahan, karena sulit sekali memindahkan bahasa lisan langsung persis sama ke bahasa tulisan. Jadi terpaksa ada beberapa penambahan kata-kata agar dapat dicerna isinya dengan mudah. Namun jalan ceritanya Novel sendiri yang membuat. Saat bercerita sebenarnya ia menggunakan boneka bebek sebagai alat bantu dan gambar pohon yang baru selesai ia warnai di Bimba. 

Selamat menikmati cerpen pertama Novel...:-)
 
Bebek dan Kodok

Originally Told by Nufail Rizqy Majid

Bebek terbang mencari temannya, Kodok. “Kodok! Kodok!” panggilnya. Ia mencari sampai di sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi sekali. Pohon bertanya, “Apa yang sedang kau lakukan, Bebek?” Jawab Bebek, “Aku sedang mencari temanku, Kodok. Apakah kamu melihatnya, Pohon?”
“Oh, ya,” jawab Pohon, “tadi dia melompat ke atas.” Bebek pun melihat ke atas pohon. Di atas pohon dia melihat Kodok temannya. “Hai, Kodok!” panggilnya, “ayo cepat turun, kita bermain bersama!” Kodok menjawab dengan ketakutan, “Aku takut, Bebek,” katanya, “aku takut turun.” “Kenapa kamu takut Kodok?” tanya Bebek. “Ini tinggi sekali,” jawab Kodok, “aku takut terjatuh.”
“Kamu kan ke atas sendiri, kenapa takut turun, kalau kamu bisa naik, pasti kamu bisa turun,” kata Bebek. “Ayo! Kamu pasti bisa, Kodok!” Bebek berkata lagi. Kodok berpikir sebentar. Akhirnya ia memutuskan untuk melompat turun.
“Syuuuuuuuttttt,” Kodok melompat turun. “Horeeeeee!” Bebek menyambut di bawah, “benar kan, kalau dicoba, kamu pasti bisa!” Kodok senang sekali karena sudah berhasil turun. Lalu mereka bermain bersama.

Senin, 05 Desember 2011

Istana Pasir, Media Belajar yang Menyenangkan

Istana Pasir
Novel pernah cerita tentang Istana Pasir yang dibuatnya...Nah..ini dia Istana Pasirnya. Sebenarnya bukan terbuat dari pasir, tapi dari bantalan kursi yang disusun menjembatani antara kursi dan meja tamu. Lalu di atasnya ditumpuk lagi dengan bantal-bantal dari kamar tidur. Kemudian paling atas adalah selimut yang dihamparkan di atas tumpukan bantal tadi. Novel-lah yang bersusah payah membuatnya sendiri. Karenanya dia jadi marah besar ketika Raysa ikut main dan menghancurkan istananya.

Cara bermainnya sebenarnya sederhana. Novel masuk ke bawah tumpukan bantal yang serupa terowongan. Agar istananya tidak rusak, ia harus bergerak dengan cara merangkak. Raysa mungkin bosan merangkak, ia pun berdiri, maka ambruklah istana yang suah susah payah dibangun oleh Novel.

Novel marah besar. Ia kemudian melarang Raysa masuk ke istananya. "Novel, kalo Novel ga mau main bareng-bareng, beresin lagi semuanya," begitu kata Ibu. Novel merengut. Kemudian terpaksa membiarkan Raysa ikutan bermain.

Kondisi di dalam terowongan yang gelap membuat Raysa cemas dan menangis. Ia pun keluar dan tak berani lagi masuk. "Tuh, kan!" kata Novel merasa menang.

Tapi beberapa waktu kemudian, "Ayo Raysa masuk, Ibu tunggu di sini," Ibu menunggu di ujung terowongan, ikut-ikutan menunduk agar Raysa bisa melihat wajah Ibu. Raysa pun merangkak masuk terowongan dan berhasil keluar dengan gembira. "Kita di belakang Dede, ya Bu," kemudian Novel ikut merangkak di belakang Dede.

Akhirnya Novel dan Raysa bisa bermain bersama tanpa perlu bertengkar. Raysa pun jadi tidak takut lagi untuk masuk ke dalam terowongan.

Istana Pasir, hasil imajinasi kreatif Mas Novel, yang akhirnya bisa jadi media belajar yang menyenangkan. Kita bisa belajar apa saja, di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, dengan cara apa saja....karena belajar itu menyenangkan!

Kalo Mau Apa-apa, Bilang Baik-baik

Hari Kamis lalu adalah hari yang kacau. Sudah beberapa kali memang Novel bilang bahwa teman-temannya, "Suka ngejahatin kita." Sepekan sebelumnya, Novel pulang dengan bibir biru lebam dan robek kurang lebih setengah senti. Cerita Novel, dia bercanda dengan temannya main tinju-tinjuan. Novel meninju dengan "tidak keras", kemudian temannya memelintir tangannya dan melepaskannya langsung ke lantai. Novel menghamtam lantai dengan mulut terlebih dahulu. Hasilnya, bibir robek, biru lebam, dan tentu saja bengkak.

Kamis lalu tampaknya benar-benar hari yang kacau. Novel memukul setidaknya 6 orang temannya hari itu. Satu orang dipukul matanya sampai menangis. Menurut Novel itu karena temannya mendorong-dorongnya pada saat ia sedang duduk. Sebagai balasannya ia langsung meninju mata temannya. Temannya menangis dan Novel diseret ke sentra sains dan seni, tidak boleh bergabung dengan teman-temannya beberapa waktu (menurut Novel 1 jam, tapi penalaran waktu Novel masih kacau, mungkin merupakan waktu yang lama sekali buat Novel).

Satu orang yang lain menggelitiki Novel dan tanpa sengaja tangan Novel menghantam hidung anak itu. Anak itu tidak menangis dan tidak terjadi apa-apa selanjutnya. Terjadilah semacam perkelahian. Novel meninju anak itu.

Hari Kamis itu ia pun meradang seharian. Aku tak tahu harus bagaimana. Akhirnya keputusannya adalah: Step Back. Mundur dulu selangkah, memikirkan dengan baik apa yang seharusnya dilakukan. It was a very stressing day! Menyadari bahwa aku sendiri dan harus mengambil keputusan sendiri dengan cepat. Keputusan itu, apa pun itu haruslah keputusan yang tepat, tidak boleh salah. Kesalahan di saat seperti ini akan memperburuk situasi.

Aku teringat Raising Boys, buku karangan Steve Biddulph. Bagi Biddulph, membesarkan anak lelaki berbeda dengan anak perempuan salah satunya karena anak lelaki memiliki testosteron yang bertanggung jawab terhadap perilaku agresif. Di buku itu ia menulis bahwa pada usia balita, sekitar 3 hingga 5 atau 6 tahunan, produksi testosteron meningkat. Akibatnya anak lelaki di usia tersebut seperti terpicu tombol kelaki-lakiannya dan tiba-tiba saja jadi menyukai segala hal yang berbau laki-laki. Mereka menyukai pedang-pedangan, pistol-pistolan, film-film aksi seperti Power Ranger, Ultraman, atau Ben 10 yang jadi kesukaan Novel.

Memang akhir-akhir ini, sekolah tampak tidak begitu menyenangkan bagi Novel. Sejak sembuh dari cacar air, Novel memang agak malas pergi sekolah. Sulit sekali dibangunkan pagi-pagi. Padahal ketika awal-awal sekolah dulu ia bersemangat sekali, cukup dibisikkan, "Ayo sekolah..." ia akan langsung bangun. Tapi akhir-akhir ini ia malas sekolah, harus bersabar membangunkannya di pagi hari baru bersedia mengangkat badan menuju kamar mandi.

Bulan Oktober lalu dia juga minta Ibu untuk memarahi gurunya karena, "Marahin kita terus," katanya. Aku memang datang ke sekolahnya setelah itu untuk konfirmasi. Menurut gurunya itu karena Novel sangat tidak mau diatur. Ia tidak mau duduk pada saat harus duduk diam.

Ngobrol-ngobrol dengan Novel tentang peristiwa Kamis itu. Aku mencatat semua ceritanya, tiba-tiba dia yang muram, langsung semangat begitu mengetahui bahwa Ibu akan bicara dengan Bu Guru tentang kejadian hari itu. Novel pun langsung semangat bercerita. Walaupun dia hanya ingat 3 dari 6 kejadian di hari itu.

Hhhh...tampaknya ini bukan soal agresivitas atau testosteron. Keduanya mungkin hanya alat untuk cari perhatian. Mungkin selama ini ia merasa kurang diperhatikan. Baiklah....mungkin perhatian adalah jawabannya.

Aku pun merancang cepat program yang harus dilancarkan demi menghilangkan agresivitas ini. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, penyederhanaannya menjadi, "Kalo mau apa-apa, bilang baik-baik". Novel sudah paham, bilang baik-baik berarti bicara dengan sopan dan baik.

Sepulang ngajar hari Kamis itu. Aku mendapat laporan luar biasa. Novel hampir melindas kaki adiknya dengan kursi beroda, memukul Mpok Ati, pengasuhnya, dengan bangku, melempar-lempar bangku, bahkan di depan mataku melempar bangku ke arah Mpok Ati dan melempar-lempar pakaian yang sudah dirapikan oleh Mpok Ati.

Aku segera berlalu khawatir meledak-ledak melihat kelakuannya yang sangat tidak sopan. Novel mengikuti dan memelukku. Yah...dia hanya ingin perhatian. Aku pun mulai melancarkan aksiku. Menjelaskan pelan-pelan bagaimana seharusnya berperilaku. Membahas semau perilaku buruknya hari itu. Satu kelebihan Novel, dia sangat pandai diajak bicara. Sampai akhirnya dia tenang.

Hari itu, dengan bicara lemah lembut dan janjian, "Kalo mau apa-apa, bilang baik-baik," Novel mau meminta maaf pada Mpok Ati, meminta maaf pada Raysa. Kemudian ia pun mau berbagi permen Yupi dengan Raysa, dengan Ibu, dengan Mpok Ati. Subhanallah! kemajuan luar biasa, hanya dengan mengubah cara bicara.

Sampai hari Ahad kemarin Novel sudah menunjukkan perkembangan luar biasa. Ia tak lagi marah-marah tak terkendali jika ada yang tak berkenan di hati. Ia tak langsung membanting mobil-mobilannya ketika mainannya itu ga mau jalan. Ia tak langsung membanting gitar-gitaran Raysa ketika marah. Subhanallah! benar-benar pengendalian diri yang luar biasa bagi anak lima tahunan dengan konsentrasi testosteron yang tinggi.

Semoga Novel bisa terus seperti ini. Semoga Novel menjadi anak dengan kecerdasan emosional tinggi. Semoga Novel selalu menjadi anak yang sholeh. Semoga Ibu diberi kesabaran dan keteguhan sebagai Ibu Novel....Amiiiinnn