Jumat, 24 Februari 2012

Anak Ibu Sulit Membaca...?

Terkesan dengan tulisan Pak Harry Santosa di salah satu postingannya di grup Millennial Learning Centre. Di situ beliau mengatakan bahwa cara orang belajar pada masa dahulu berbeda dengan di masa sekarang. Di masa lalu orang belajar dengan berguru langsung pada ahlinya. Jika seorang anak memutuskan ingin menjadi seorang tukang roti, maka ia akan mencari tukang roti terbaik lalu berguru padanya. Ia akan tinggal bersama tukang roti itu dan bekerja bersamanya. Ia akan belajar padanya tidak saja tentang tata cara teknis pembuatan roti, tapi juga mengenai cara hidup tukang roti. Keluarannya bukan saja orang yang pandai membuat roti, tapi juga seorang tukang roti sejati. Tidak ada ujian yang menegangkan, tidak ada ketakutan akan ketidaklulusan. Ia akan dinyatakan lulus oleh sang guru jika sang guru memutuskan bahwa ia sudah bisa disebut sebagai "Tukang Roti". Para penikmat rotilah nanti yang akan menentukan kualitasnya sebagai tukang roti.

Keadaan ini berubah ketika pada abad ke-15 Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Cara belajar, yang tadinya berdasarkan pengalaman dengan berguru pada sang ahli, berubah menjadi membaca catatan sang ahli. Aktivitas membaca pun menjadi penting. Semua anak wajib bisa membaca supaya bisa mendapatkan ilmu. Sampai sekarang pun nilai ujian tergantung dari kemampuan membaca anak.

Hihihi...agak lebay ya....

Level kelas terendah yang saya ajar di bimbingan belajar adalah kelas 4 SD. Di kepala kita, sudah terbentuk mind set bahwa anak kelas 4 SD seharusnya sudah lancar membaca. Faktanya, salah satu siswa yang saya ajar masih belum lancar membaca. Akibatnya, ia tidak dapat menjawab soal-soal ulangan dengan baik. Pengawas ujiannya harus menemaninya menjawab soal agar dia bisa membaca soal dengan benar.

Sadarlah saya....buruknya nilai-nilai anak ini di sekolah bukan karena daya tangkapnya yang rendah, tapi kemampuan membacanya yang lamban sehingga ia terlambat dalam memahami soal, memahami pelajaran, dan seterusnya karena belajar di sekolah menuntut kemampuan membaca dan memahami bacaan.

Saat ia merasa belajar terlalu sulit, ia menjadi malas belajar dan mengalihkan energinya ke hal-hal lain. Ia jadi anak yang pecicilan, ga bisa diam, sukanya main, dan seterusnya aktivitas yang dilekatkan pada anak "nakal". Semua berawal dari kesulitannya dalam membaca.

Kasihan ya....? Sayangnya saya tidak punya kewenangan untuk mengatakan pada orangtuanya, "Bunda, masalah belajar anak Bunda ini hanya di minat membacanya..."

Di kurikulum diknas sebenarnya calistung tidak boleh diajarkan pada masa prasekolah. Masa prasekolah hanya pengenalan terhadap lingkungan sekolah, dan isinya lebih banyak main-mainnya. Dengan bermain itulah anak-anak akan belajar...betapa menyenangkannya sekolah seperti ini....

Tapi....banyak sekolah dasar yang mensyaratkan kemampuan membaca menjadi salah satu syarat masuknya. Ada sekolah dasar yang menggelar tes seleksi dengan materi tes yang banyak sekali, mulai dari kemampuan membaca, berhitung, hafalan surat pendek, hafalan doa-doa, lalu tes-tes dasar-dasar IPA, dan IPS. Ada juga sekolah menjadi tes membaca sebagai tes penempatan saja. Sekolah ini tidak menyeleksi siswanya, tapi membaginya menjadi dua kelompok: kelompok yang sudah bisa baca dan yang masih belum fasih membaca.

SD negeri pun tidak jauh berbeda. Walaupun di SD negeri seleksinya hanya berdasarkan umur, tapi tetap saja anak yang belum bisa membaca akan kesulitan mengikuti pelajaran karena guru-gurunya tidak begitu peduli. Teman saya yang menyekolahkan anaknya di SD negeri pernah cerita kalau anak-anak kelas 1 sering kebingungan. Pasalnya sang guru hanya datang, menyuruh siswa mengerjakan LKS, lalu duduk di meja guru menunggu siswa selesai mengerjakan LKSnya. Padahal ketika itu pelajaran Bahasa Inggris yang belum ada siswa kelas 1 yang benar-benar paham. Jangankan bahasa Inggris, Bahasa Indonesia aja masih terbata-bata membacanya. Akibatnya si anak terpaksa ikut les yang ternyata juga diampu oleh guru di sekolah. Kalo ga ikut les, bisa-bisa nilai mereka di sekolah anjlok.

Fakta-fakta yang ada di sekolah-sekolah dasar kita memaksa ibu-ibu yang anaknya masih bersekolah di TK menjadi khawatir kalau si anak belum bisa membaca selulusnya dari TK. Tak heran anak-anak TK ini pun kecil-kecil terpaksa ikut les baca yang menyita waktunya. Duh kebayang lelahnya anak-anak ini. Pulang sekolah jam 12-an, makan siang, mandi, ganti baju, lalu ikut les baca. Capeeee.....

Jadi ingat masa-masa TK-ku. Pulang sekolah jam 10-an. Ganti baju lalu main dengan teman-teman. Jam 2-an pulang lalu tidur siang. Jam 4-an bangun lalu mandi sore dan dilanjutkan main lagi sama teman-teman. Jam 6, maghrib, pulang ke rumah, ikutan sholat maghrib lalu mengaji. Selepas mengaji makan malam, sholat isya, lalu tidur.

Kenapa anak-anak tak dibiarkan menjadi anak-anak saja....?

Kamis, 23 Februari 2012

Novel Sang Konselor

jangan nangis ya dek.....
Ingin tahu sebenarnya bagaimana pemikiran Novel mengenai siblings rivalry. Semenjak adiknya lahir, Novel terlihat cemburu sekali dan selalu ingin dapat perhatian lebih. Ia seperti tak rela kalau Raysa lebih disayang. Padahal itu tidak benar.

Masalahnya, Raysa belum semandiri Novel dalam melakukan apa pun. Tentu saja Raysa jadi lebih banyak dibantu daripada Novel. Bantuan ini sepertinya dianggap Novel sebagai bukti bahwa kami lebih sayang pada Raysa daripada Novel.

Malam itu aku bercerita. "Ibu kan punya adik, Ami," begitu aku memulai cerita. "Dulu ibu kira, Umi lebih sayang sama Ami daripada sama Ibu," lanjutku. "Mungkin karena adek Ibu masih kecil, jadinya apa-apa adek ibu yang duluan," Novel langsung menyambar. Aku tertegun, "Emang kalo masih kecil musti diduluin?" pancingku. "Iyalah, kan masih kecil, masih belum bisa apa-apa," jelas Novel, "Kan Ibu udah gede, Ibu harusnya jadi lebih pinter daripada Ami," Novel mulai menasihati. "Lihat aja, Ami bisa naik motor, Ibu ga bisa naik motor, masa Ibu kalah sama adek Ibu?" Novel mulai memotivasi. Aku masih tertegun...ga nyangka kalau ternyata sebenarnya apa yang kami katakan masuk ke dalam pikirannya.

Hhhh...anak-anak sebenarnya lebih dewasa dari yang kita kira ya....?
Sepertinya Novel berbakat nih jadi konselor.....hehehe

Rabu, 22 Februari 2012

Tendangan si Madun

Ini adalah salah satu sinetron yang sepertinya bergenre sinetron remaja, tapi dari hari ke hari cerita makin ngawur dan ga jelas. Awalnya aku membolehkan Novel menonton sinetron ini dan masuk ke dalam kategori acara lumayan karena episode awalnya memang "lumayan" untuk anak-anak.

Ceritanya tentang si Madun yang ingin jadi pemain Timnas sepakbola. Kepala sekolahnya melihat Madun memiliki potensi terpendam hingga terpilih untuk menjadi salah satu anggota tim sepakbola di sekolahnya. Sayangnya ayah si Madun tidak setuju Madun bermain bola. Ayah Madun adalah seorang ulama di kampungnya. Ia ingin agar Madun juga menjadi ulama. Bagi Ayah Madun, main bola itu tidak penting.

Kemudian cerita bergulir beberapa episode....masih masuk kategori lumayan. Namun beberapa episode setelah episode-episode awal, cerita seperti terfokus pada trik-trik tipuan Madun agar dapat bermain bola. Ia dan teman-temannya bersekongkol membohongi ayahnya agar bisa main bola. Hmmm...mulai ga enak nih...gimana pun kan berbohong itu dosa, apalagi membohongi orangtua. Tapi di sinetron ini, berbohong sepertinya dilegalkan demi main bola....ckckck...seingatku itu bukan alasan yang diperbolehkan untuk berbohong.

Beberapa episode kemudian Madun kena getahnya, ia buta saat main bola. Ayahnya ngomel-ngomel dan bilang, "Inilah akibatnya kalau kau tak ikut kata orangtua." Tapi cuma sampai di situ saja. Kebutaan Madun tidak diinsyafi sebagai akibat dari kebohongan-kebohongannya yang lalu malah kebutaan ini menjadikan Madun pemain yang lebih hebat. Yah...gimana sih...lalu apa konsekuensi dari kebohongan-kebohongannya itu?

Makin ke sini ceritanya makin ga jelas. Madun dan timnya ikut serta dalam kompetisi Futsal. Tapi tim-tim lawan Madun tidak hanya tim bola, tapi tim bola karate, tim bola wushu, tim bola silat, bahkan ada tim bola Naruto. Yang paling bikin ga jelas adalah, masing-masing tim ini berkompetisi tidak hanya di lapangan tapi juga di luar lapangan.

Brusli, kiper tim Madun sedang enak-enakan latihan di depan rumahnya, tiba-tiba ditendang pake bola. Salah satu anggota tim Madun yang lain sedang berjalan menuju apotek hendak membeli obat untuk tetehnya tiba-tiba diserang di jalan dengan bola. Dan adegan serupa bertebaran hampir di satu jam penayangan.

Hhhhh...sayangnya Novel udah terlanjur nonton dan udah terlanjur suka. Dia jadi suka main bola gara-gara Madun. Yang senang pasti ayahnya, udah ada temen buat nonton main bola. Soal dampak yang ini sih ga masalah. Dampak yang paling aku khawatirkan adalah tentang logika penyelesaian masalah di sinetron ini. Di sini masalah diselesaikan dengan bertarung bola. Sepak Bola bukan menjadi olahraga melainkan alat untuk menyerang orang yang tidak kita suka. Penyelesaian masalah seperti apa yang bisa diambil di sini?

Sportivitas dalam permainan sepakbola malah sama sekali tidak ditonjolkan. Hanya sedikit ada nilai-nilai sportivitas, kerjasama tim, yang merupakan nilai-nilai dalam sebuah permainan. Sayangnya yang paling banyak ditonjolkan adalah bola sebagai senjata. Adegan-adegan para tokoh yang terkena tendangan bola diulang berkali-kali. Sementara adegan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan, sportivitas, dan kerjasama tim seperti tenggelam dari keseluruhan sinetron ini.

Secara keseluruhan, ibarat kata kaskuser, sinetron ini layak dilempari bata.

Yang paling nyesek sebenarnya adalah Novel dah terlanjur suka....jadinya tiap kali nonton aku jadi sibuk memperbaiki adegan-adegan yang buruk di sinetron ini. "Astaghfirullah! Masa dia ga ngapa-ngapain tiba-tiba ditendang pake bola? Kan bisa ngomong baik-baik, tanya dulu baik-baik, biar jelas, ya ngga, Mas?" Mudah-mudahan efek buruk tayangan ini bisa dikendalikan....Sesuai dengan Filosofi Positive Parenting: Allah sudah membekali setiap anak pertahanan diri untuk menjaganya dari hal-hal yang buruk. Tugas orangtualah membantu anak memanfaatkan potensinya ini...

Lindungilah anak-anak kami dari segala keburukan dunia, Ya Allah....amiiiinnnn