Ini adalah salah satu sinetron yang sepertinya bergenre sinetron remaja, tapi dari hari ke hari cerita makin ngawur dan ga jelas. Awalnya aku membolehkan Novel menonton sinetron ini dan masuk ke dalam kategori acara lumayan karena episode awalnya memang "lumayan" untuk anak-anak.
Ceritanya tentang si Madun yang ingin jadi pemain Timnas sepakbola. Kepala sekolahnya melihat Madun memiliki potensi terpendam hingga terpilih untuk menjadi salah satu anggota tim sepakbola di sekolahnya. Sayangnya ayah si Madun tidak setuju Madun bermain bola. Ayah Madun adalah seorang ulama di kampungnya. Ia ingin agar Madun juga menjadi ulama. Bagi Ayah Madun, main bola itu tidak penting.
Kemudian cerita bergulir beberapa episode....masih masuk kategori lumayan. Namun beberapa episode setelah episode-episode awal, cerita seperti terfokus pada trik-trik tipuan Madun agar dapat bermain bola. Ia dan teman-temannya bersekongkol membohongi ayahnya agar bisa main bola. Hmmm...mulai ga enak nih...gimana pun kan berbohong itu dosa, apalagi membohongi orangtua. Tapi di sinetron ini, berbohong sepertinya dilegalkan demi main bola....ckckck...seingatku itu bukan alasan yang diperbolehkan untuk berbohong.
Beberapa episode kemudian Madun kena getahnya, ia buta saat main bola. Ayahnya ngomel-ngomel dan bilang, "Inilah akibatnya kalau kau tak ikut kata orangtua." Tapi cuma sampai di situ saja. Kebutaan Madun tidak diinsyafi sebagai akibat dari kebohongan-kebohongannya yang lalu malah kebutaan ini menjadikan Madun pemain yang lebih hebat. Yah...gimana sih...lalu apa konsekuensi dari kebohongan-kebohongannya itu?
Makin ke sini ceritanya makin ga jelas. Madun dan timnya ikut serta dalam kompetisi Futsal. Tapi tim-tim lawan Madun tidak hanya tim bola, tapi tim bola karate, tim bola wushu, tim bola silat, bahkan ada tim bola Naruto. Yang paling bikin ga jelas adalah, masing-masing tim ini berkompetisi tidak hanya di lapangan tapi juga di luar lapangan.
Brusli, kiper tim Madun sedang enak-enakan latihan di depan rumahnya, tiba-tiba ditendang pake bola. Salah satu anggota tim Madun yang lain sedang berjalan menuju apotek hendak membeli obat untuk tetehnya tiba-tiba diserang di jalan dengan bola. Dan adegan serupa bertebaran hampir di satu jam penayangan.
Hhhhh...sayangnya Novel udah terlanjur nonton dan udah terlanjur suka. Dia jadi suka main bola gara-gara Madun. Yang senang pasti ayahnya, udah ada temen buat nonton main bola. Soal dampak yang ini sih ga masalah. Dampak yang paling aku khawatirkan adalah tentang logika penyelesaian masalah di sinetron ini. Di sini masalah diselesaikan dengan bertarung bola. Sepak Bola bukan menjadi olahraga melainkan alat untuk menyerang orang yang tidak kita suka. Penyelesaian masalah seperti apa yang bisa diambil di sini?
Sportivitas dalam permainan sepakbola malah sama sekali tidak ditonjolkan. Hanya sedikit ada nilai-nilai sportivitas, kerjasama tim, yang merupakan nilai-nilai dalam sebuah permainan. Sayangnya yang paling banyak ditonjolkan adalah bola sebagai senjata. Adegan-adegan para tokoh yang terkena tendangan bola diulang berkali-kali. Sementara adegan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan, sportivitas, dan kerjasama tim seperti tenggelam dari keseluruhan sinetron ini.
Secara keseluruhan, ibarat kata kaskuser, sinetron ini layak dilempari bata.
Yang paling nyesek sebenarnya adalah Novel dah terlanjur suka....jadinya tiap kali nonton aku jadi sibuk memperbaiki adegan-adegan yang buruk di sinetron ini. "Astaghfirullah! Masa dia ga ngapa-ngapain tiba-tiba ditendang pake bola? Kan bisa ngomong baik-baik, tanya dulu baik-baik, biar jelas, ya ngga, Mas?" Mudah-mudahan efek buruk tayangan ini bisa dikendalikan....Sesuai dengan Filosofi Positive Parenting: Allah sudah membekali setiap anak pertahanan diri untuk menjaganya dari hal-hal yang buruk. Tugas orangtualah membantu anak memanfaatkan potensinya ini...
Lindungilah anak-anak kami dari segala keburukan dunia, Ya Allah....amiiiinnnn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar