Terkesan dengan tulisan Pak Harry Santosa di salah satu postingannya di grup Millennial Learning Centre. Di situ beliau mengatakan bahwa cara orang belajar pada masa dahulu berbeda dengan di masa sekarang. Di masa lalu orang belajar dengan berguru langsung pada ahlinya. Jika seorang anak memutuskan ingin menjadi seorang tukang roti, maka ia akan mencari tukang roti terbaik lalu berguru padanya. Ia akan tinggal bersama tukang roti itu dan bekerja bersamanya. Ia akan belajar padanya tidak saja tentang tata cara teknis pembuatan roti, tapi juga mengenai cara hidup tukang roti. Keluarannya bukan saja orang yang pandai membuat roti, tapi juga seorang tukang roti sejati. Tidak ada ujian yang menegangkan, tidak ada ketakutan akan ketidaklulusan. Ia akan dinyatakan lulus oleh sang guru jika sang guru memutuskan bahwa ia sudah bisa disebut sebagai "Tukang Roti". Para penikmat rotilah nanti yang akan menentukan kualitasnya sebagai tukang roti.
Keadaan ini berubah ketika pada abad ke-15 Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Cara belajar, yang tadinya berdasarkan pengalaman dengan berguru pada sang ahli, berubah menjadi membaca catatan sang ahli. Aktivitas membaca pun menjadi penting. Semua anak wajib bisa membaca supaya bisa mendapatkan ilmu. Sampai sekarang pun nilai ujian tergantung dari kemampuan membaca anak.
Hihihi...agak lebay ya....
Level kelas terendah yang saya ajar di bimbingan belajar adalah kelas 4 SD. Di kepala kita, sudah terbentuk mind set bahwa anak kelas 4 SD seharusnya sudah lancar membaca. Faktanya, salah satu siswa yang saya ajar masih belum lancar membaca. Akibatnya, ia tidak dapat menjawab soal-soal ulangan dengan baik. Pengawas ujiannya harus menemaninya menjawab soal agar dia bisa membaca soal dengan benar.
Sadarlah saya....buruknya nilai-nilai anak ini di sekolah bukan karena daya tangkapnya yang rendah, tapi kemampuan membacanya yang lamban sehingga ia terlambat dalam memahami soal, memahami pelajaran, dan seterusnya karena belajar di sekolah menuntut kemampuan membaca dan memahami bacaan.
Saat ia merasa belajar terlalu sulit, ia menjadi malas belajar dan mengalihkan energinya ke hal-hal lain. Ia jadi anak yang pecicilan, ga bisa diam, sukanya main, dan seterusnya aktivitas yang dilekatkan pada anak "nakal". Semua berawal dari kesulitannya dalam membaca.
Kasihan ya....? Sayangnya saya tidak punya kewenangan untuk mengatakan pada orangtuanya, "Bunda, masalah belajar anak Bunda ini hanya di minat membacanya..."
Di kurikulum diknas sebenarnya calistung tidak boleh diajarkan pada masa prasekolah. Masa prasekolah hanya pengenalan terhadap lingkungan sekolah, dan isinya lebih banyak main-mainnya. Dengan bermain itulah anak-anak akan belajar...betapa menyenangkannya sekolah seperti ini....
Tapi....banyak sekolah dasar yang mensyaratkan kemampuan membaca menjadi salah satu syarat masuknya. Ada sekolah dasar yang menggelar tes seleksi dengan materi tes yang banyak sekali, mulai dari kemampuan membaca, berhitung, hafalan surat pendek, hafalan doa-doa, lalu tes-tes dasar-dasar IPA, dan IPS. Ada juga sekolah menjadi tes membaca sebagai tes penempatan saja. Sekolah ini tidak menyeleksi siswanya, tapi membaginya menjadi dua kelompok: kelompok yang sudah bisa baca dan yang masih belum fasih membaca.
SD negeri pun tidak jauh berbeda. Walaupun di SD negeri seleksinya hanya berdasarkan umur, tapi tetap saja anak yang belum bisa membaca akan kesulitan mengikuti pelajaran karena guru-gurunya tidak begitu peduli. Teman saya yang menyekolahkan anaknya di SD negeri pernah cerita kalau anak-anak kelas 1 sering kebingungan. Pasalnya sang guru hanya datang, menyuruh siswa mengerjakan LKS, lalu duduk di meja guru menunggu siswa selesai mengerjakan LKSnya. Padahal ketika itu pelajaran Bahasa Inggris yang belum ada siswa kelas 1 yang benar-benar paham. Jangankan bahasa Inggris, Bahasa Indonesia aja masih terbata-bata membacanya. Akibatnya si anak terpaksa ikut les yang ternyata juga diampu oleh guru di sekolah. Kalo ga ikut les, bisa-bisa nilai mereka di sekolah anjlok.
Fakta-fakta yang ada di sekolah-sekolah dasar kita memaksa ibu-ibu yang anaknya masih bersekolah di TK menjadi khawatir kalau si anak belum bisa membaca selulusnya dari TK. Tak heran anak-anak TK ini pun kecil-kecil terpaksa ikut les baca yang menyita waktunya. Duh kebayang lelahnya anak-anak ini. Pulang sekolah jam 12-an, makan siang, mandi, ganti baju, lalu ikut les baca. Capeeee.....
Jadi ingat masa-masa TK-ku. Pulang sekolah jam 10-an. Ganti baju lalu main dengan teman-teman. Jam 2-an pulang lalu tidur siang. Jam 4-an bangun lalu mandi sore dan dilanjutkan main lagi sama teman-teman. Jam 6, maghrib, pulang ke rumah, ikutan sholat maghrib lalu mengaji. Selepas mengaji makan malam, sholat isya, lalu tidur.
Kenapa anak-anak tak dibiarkan menjadi anak-anak saja....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar