"Yah..gitu, Bun..." kata Bu Rina, guru Novel. "Novel memang bagus sekali di bidang akademik, tapi pengendalian emosinya sangat kurang, juga ga bisa diem," begitulah kurang lebih kesimpulan dari hasil sekolah Novel selama satu semester di TK B.
Fiuuuhhh....kemampuan intelegensi yang tinggi ternyata tidak sejalan dengan kecerdasan emosionalnya. Baiklah, kita bisa bilang kemungkinan kecerdasan intelegensinya di atas teman-teman sebayanya, artinya IQ-nya termasuk tinggi. Tapi EQ-nya sama dengan teman sebayanya. Sepertinya kesenjangan ini yang memicu konflik yang membuat Novel jadi terlihat lebih agresif dan meledak-ledak.
Aku jadi teringat cerita dosen DTAR (Diagnosa dan Terapi Anak dan Remaja). Dia bercerita tentang seorang petenis perempuan yang menang Wimbledon di usia sangat muda (Winne Prakusya atau Angelique Wijaya, ya..lupa). Petenis ini masuk kliniknya di usia SD karena amsalah perilaku. Setelah didiagnosis, dosenku ini menyarankan treatment untuk menguras energinya. Karena anak ini suka main tenis, maka beliau menyarankan untuk menggenjot permainan tenisnya.
Bayangkan, dia sekolah dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang, lalu latihan tenis dari jam 4 sampai jam 6 sore. Setelah pulang dia masih harus mengerjakan PR, belajar buat ulangan, dan lain-lain pekerjaan sekolahnya. Dan masih dapat ranking satu di sekolahnya.
Dosenku itu bilang, banyak sekali kasus anak-anak cerdas yang kecerdasan intelegensinya tidak sejalan dengan kecerdasan emosinya. Itu sebabnya kita banyak melihat olahragawan-olahragawan berbakat berlaku emosional di lapangan. Beliau mencontohkan Taufik Hidayat yang memukulkan raketnya hingga patah di lapangan. Taufik juga cerdas di sekolahnya, tapi tampaknya kecerdasan emosinya tidak sejalan dengan kecerdasan intelegensinya.
Satu lagi yang jadi pertanyaan adalah imajinasinya. Gurunya mengakui bahwa daya imajinasi Novel luar biasa besar. Tetapi ketika diminta untuk mengungkapkannya dengan kata-kata, sepertinya ia kehilangan kata-kata. Ia tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui kata-kata. Lagi-lagi ini soal kecerdasan emosi. Yang namanya energi ngga bisa hanya dipendam. Jika energi dipendam maka ia akan meledak dengan dahsyat. Pertanyaannya: ke manakah Novel menyalurkan imajinasinya? Bagaimana ia menyalurkan imajinasinya? Apakah perilakunya yang tidak bisa diam merupakan ekses dari imajinasinya yang tak tersalurkan?
Setiap kali circle, duduk melingkar bersama-sama mendengarkan Bu Guru, Novel selalu ga bisa diam. Saya menjelaskan, Novel adalah anak visual, dia butuh sesuatu untuk dilihat. Pada saat circle, yang digunakan sebagian besar adalah telinga. Aku meminta Bu Guru agar Novel didudukkan di tempat di mana ia bisa melihat orang yang berbicara. Atau diberikan sesuatu untuk membuatnya bergerak, misalnya biarkan ia memegang bolpoin atau pensil. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena akan mengganggu konsentrasi anak-anak yang lain.
Baiklah, masalah terbesarnya adalah kesenjangan antara IQ dan EQ yang sepertinya cukup besar. Walaupun kita masih belum tahu seberapa besar kesenjangan ini, karena butuh psikotes yang cukup mendalam untuk mengetahui hal ini. Apa perlu diajak ke psikolog ya Novel ini?
Apakah solusi untuk memperbaiki kesenjangan ini?
Apakah kesenjangan ini merupakan indikasi masalah?
Apakah Novel sudah memerlukan bantuan profesional untuk mengatasi masalah ini? (Jika memang ada masalah).
Apa yang harus aku lakukan sebagai orangtuanya?
Selasa, 27 Desember 2011
Ngambil Rapor Novel
Senin, 26 Desember 2011
Raysa si Auditorik Kinestetik
Sang Auditorik dan Sang Visual |
Raysa ga bisa diam. Kesukaannya pada irama dan suara, digabungkan dengan seluruh tubuhnya yang selalu bergerak menciptakan kombinasi yang hebat sebagai seorang penari. Raysa dapat menirukan gerakan (walau tidak sama persis karena keterbatasan gerakan motorik kasar dan halusnya) dengan cepat. Ia langsung melompat setelah melihat Barney melompat. Dia juga menirukan gerakan Dora ketika bernyanyi, "Berhasil, berhasil, hore!"
Motorik halus Raysa pun berkembang lebih cepat dibanding Novel. Raysa sudah dapat memegang pensil dengan benar, dengan cara yang benar memegang pensil untuk menulis, sejak pertama kali ia diketahui bisa memegang pensil. Raysa mahir sekali dengan gerakan menjumputnya. Persendian jarinya begitu elastis bahkan jari jempolnya bisa ditekuk 90 derajat seperti patah, tak ada satu pun di antara Ayah, Ibu, dan Novel yang bisa melakukan itu.
Aku melihat Raysa sebagai seorang auditorik kinestetik. Sesuatu yang membuatku sedikit kesulitan. Aku sendiri seorang visual. Nah lho....Raysa belajar melalui pendengarannya, dan aku belajar melalui penglihatan.
Akhirnya, aku pun banyak bernyanyi demi Raysa. Banyak menari demi Raysa. Cara-cara belajar yang dulu diterapkan untuk Novel sang visual harus diubah dan diganti dengan cara-cara belajar auditorik untuk memenuhi kebutuhan Raysa.
Raysa butuh stimulus auditorik untuk mengembangkan potensinya. Kalo dulu Novel banyak dibelikan CD-CD film, sekarang Raysa punya CD-CD lagu-lagu anak. Barney atau Dora yang punya banyak lagu anak-anak di dalamnya. Raysa bosan melihat filmnya, tapi selalu semangat mendengarkan lagunya. Ketika di Gramedia, Raysa tertarik sekali dengan Alqur'an yang bisa bicara keluaran Read Boy. Yah..aku sadar, ini cara belajar yang tepat untuk Raysa, tapi mungkin tahun depan ketika Raysa sudah lebih siap belajar huruf. Biar setahun ini persiapan dulu untuk mulai masuk playgrup tahun depan.
Satu pengalaman menarik ketika Raysa rewel ga bisa tidur malam-malam. Setelah dinyanyikan lagu nina bobo ga mempan, diajak bicara juga ga mempan, akhirnya aku bacakan hafalan juz 'Amma dari al-Nas sampai al-Nashr, barulah Raysa tertidur pulas hingga pagi.
Banyak orangtua yang merasa anaknya lamban sekali dalam belajar. Banyak juga guru yang kurang memahami siswanya dan langsung mengklaimnya lamban belajar atau yang parah: bodoh. Saya percaya bahwa potensi otak manusia sangatlah luar biasa. Sayangnya banyak di antara mereka tidak sadar dan kurang memahami, salah satunya adalah memahami gaya belajar ini.
Contoh mudahnya, cara belajar Iqra' yang mengandalkan keaktifan santri dan pemahamannya akan bentuk-bentuk huruf memang cocok sekali untuk anak-anak visual. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa Novel cepat sekali belajar Iqra', cara belajarnya cocok dengan cara belajar Novel. Tapi bagi anak kinestetik yang tidak betah diam dalam waktu lama, cara ini mungkin kurang tepat. Anak-anak kinestetik mungkin lebih tepat diberi alat bantu huruf-huruf hijaiyah dari spons atau plastik. Dengan membolak-balik huruf tersebut anak kinestetik dapat belajar dengan lebih cepat. Anak-anak auditorik mungkin lebih tepat dengan cara belajar Iqra' dengan menirukan bunyi. Di Iqra' 3, guru dilarang membunyikan mad, tapi hanya memberitahu bahwa yang ini panjang dan yang itu pendek. Cara belajar seperti ini mungkin agak menyulitkan buat anak auditorik karena dia belajar melalui suara.
Mari kita hargai potensi yang sudah diberikan Allah, tak perlu memaksa anak belajar dengan cara yang tidak disukainya, karena anak akan lebih mudah belajar dalam suasana bahagia. Let's make our family, a happy family....amiiiiinnnn :-)
Langganan:
Postingan (Atom)