Selasa, 27 Desember 2011

Ngambil Rapor Novel

"Yah..gitu, Bun..." kata Bu Rina, guru Novel. "Novel memang bagus sekali di bidang akademik, tapi pengendalian emosinya sangat kurang, juga ga bisa diem," begitulah kurang lebih kesimpulan dari hasil sekolah Novel selama satu semester di TK B.

Fiuuuhhh....kemampuan intelegensi yang tinggi ternyata tidak sejalan dengan kecerdasan emosionalnya. Baiklah, kita bisa bilang kemungkinan kecerdasan intelegensinya di atas teman-teman sebayanya, artinya IQ-nya termasuk tinggi. Tapi EQ-nya sama dengan teman sebayanya. Sepertinya kesenjangan ini yang memicu konflik yang membuat Novel jadi terlihat lebih agresif dan meledak-ledak.

Aku jadi teringat cerita dosen DTAR (Diagnosa dan Terapi Anak dan Remaja). Dia bercerita tentang seorang petenis perempuan yang menang Wimbledon di usia sangat muda (Winne Prakusya atau Angelique Wijaya, ya..lupa). Petenis ini masuk kliniknya di usia SD karena amsalah perilaku. Setelah didiagnosis, dosenku ini menyarankan treatment untuk menguras energinya. Karena anak ini suka main tenis, maka beliau menyarankan untuk menggenjot permainan tenisnya.

Bayangkan, dia sekolah dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang, lalu latihan tenis dari jam 4 sampai jam 6 sore. Setelah pulang dia masih harus mengerjakan PR, belajar buat ulangan, dan lain-lain pekerjaan sekolahnya. Dan masih dapat ranking satu di sekolahnya.

Dosenku itu bilang, banyak sekali kasus anak-anak cerdas yang kecerdasan intelegensinya tidak sejalan dengan kecerdasan emosinya. Itu sebabnya kita banyak melihat olahragawan-olahragawan berbakat berlaku emosional di lapangan. Beliau mencontohkan Taufik Hidayat yang memukulkan raketnya hingga patah di lapangan. Taufik juga cerdas di sekolahnya, tapi tampaknya kecerdasan emosinya tidak sejalan dengan kecerdasan intelegensinya.

Satu lagi yang jadi pertanyaan adalah imajinasinya. Gurunya mengakui bahwa daya imajinasi Novel luar biasa besar. Tetapi ketika diminta untuk mengungkapkannya dengan kata-kata, sepertinya ia kehilangan kata-kata. Ia tidak dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui kata-kata. Lagi-lagi ini soal kecerdasan emosi. Yang namanya energi ngga bisa hanya dipendam. Jika energi dipendam maka ia akan meledak dengan dahsyat. Pertanyaannya: ke manakah Novel menyalurkan imajinasinya? Bagaimana ia menyalurkan imajinasinya? Apakah perilakunya yang tidak bisa diam merupakan ekses dari imajinasinya yang tak tersalurkan?

Setiap kali circle, duduk melingkar bersama-sama mendengarkan Bu Guru, Novel selalu ga bisa diam. Saya menjelaskan, Novel adalah anak visual, dia butuh sesuatu untuk dilihat. Pada saat circle, yang digunakan sebagian besar adalah telinga. Aku meminta Bu Guru agar Novel didudukkan di tempat di mana ia bisa melihat orang yang berbicara. Atau diberikan sesuatu untuk membuatnya bergerak, misalnya biarkan ia memegang bolpoin atau pensil. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena akan mengganggu konsentrasi anak-anak yang lain.

Baiklah, masalah terbesarnya adalah kesenjangan antara IQ dan EQ yang sepertinya cukup besar. Walaupun kita masih belum tahu seberapa besar kesenjangan ini, karena butuh psikotes yang cukup mendalam untuk mengetahui hal ini. Apa perlu diajak ke psikolog ya Novel ini?

Apakah solusi untuk memperbaiki kesenjangan ini?
Apakah kesenjangan ini merupakan indikasi masalah?
Apakah Novel sudah memerlukan bantuan profesional untuk mengatasi masalah ini? (Jika memang ada masalah).

Apa yang harus aku lakukan sebagai orangtuanya?

2 komentar:

  1. Say bukannya dirimu berlatar belakang ilmu psikologi?? Tidak adakah ide untuk mengatasi hal ini? Hehe kalo udah dapet solusi di share ya, buat pelajaran bersama

    BalasHapus
  2. yoi cin...tapi teteup masih usaha...sampai saat ini masih pake trik "Klo mo apa2 bilang baik2"...terus terang masih blom berhasil biarpun efeknya udah mulai keliatan...siapa tau ada yang punya ide lebih baik....ayo dong share di sini...;-)

    BalasHapus