Selasa, 29 Januari 2013

Bandung Zoological Garden

Entah kenapa, orang Indonesia suka sekali memakai bahasa Inggris. Mungkin membuat mereka merasa cerdas atau mungkin berasa jadi keren...padahal Kebun Binatang Bandung juga ga masalah kan....?

Bulan Oktober lalu, kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Bandung. Sebenarnya ini merupakan acara tambahan setelah acara utama menghadiri wisuda Ayah di ITB. Kebetulan Kebun Binatang Bandung bersisian dengan ITB.

Kami masuk melalui gerbang samping yang tak jauh dari tempat indekost Ayah selama di Bandung. Tiket masuknya lumayan murah, hanya 20ribu saja (kalo ga salah). Begitu melewati pintu gerbang, burung-burung berparuh bengkok yang cantik menyambut kami dengan teriakannya. Novel sibuk membaca keterangan mengenai burung ini.

Perjalanan berlanjut ke kandang macan tutul.  Kandangnya luas sekali dengan pohon besar jadi pusat perhatian di tengah. "Mana macannya?" sang macan entah bersembunyi di mana....ah ngga seru....Mau gimana lagi, macan termasuk hewan nokturnal, alias aktif di malam hari, jadi kalo siang-siang begini...ya tidurlah.....

Selanjutnya ke kandang buaya. Buaya-buaya ini dibagi menjadi beberapa kandang, mungkin supaya ngga berantem kali ya....buaya kan termasuk hewan buas. Buaya juga hewan yang berhasil survive dari jaman purba selain hiu.

Sampai di kandang buaya, Eyang mulai kelelahan. "Eyang tunggu di sini aja?" katanya. "Lho...beneran, Yang?" dengan mantap Eyang mengangguk lalu duduk di bangku panjang tak jauh dari kandang buaya. Dengan bekal hape di tangan, Eyang menanti di sini.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Lewat dari kandang buaya, kami memasuki area burung-burung. Beraneka jenis burung diletakkan di dalam sangkar besar yang dindingnya terbuat dari plastik tebal transparan. Kandang cukup besar sehingga mereka masih tetap bisa terbang. Tapi tentu saja area terbangnya terbatas di kandang itu saja. Melihat sayap-sayap mereka yang terentang lebar menerbitkan rasa kasihan di benakku. Bagaimana pun burung-burung itu diciptakan untuk terbang, tapi di sini mereka tidak bisa memenuhi hasrat alaminya itu. Kasihan sekali.

Selanjutnya kami berbelok menuju kolam besar yang airnya keruh. Kolam ini di isi oleh setidaknya 2 ekor ikan arapaima. Ikan ini besar sekali, saat ia bergerak cepat di bawah air, permukaan air di atasnya pun bergolak. Berarti kedalaman kolam ini sebenarnya masih kurang jika dibandingkan dnegan lebar badan sang ikan. Kasihan juga ikan ini, ruang geraknya sangat terbatas di kolam ini.

Perjalanan dilanjutkan ke bagian mamalia. Ada rusa, kijang, dan kambing gunung. Di ujung jalan setapak, kami menemukan unta. Novel dan Ayah pun memutuskan untuk menunggang unta. Bayarnya 10ribu per orang. Raysa juga boleh ikut gratis karena umurnya belum genap 3 tahun. Jadi deh 3 beranak muterin lapangan naik unta.

Tak jauh dari kandang unta ada kandang primata. Berbagai jenis monyet tinggal di sana. Novel tertarik dengan monyet Jepang yang bokongnya tebal sekali berwarna merah. Bokong ini juga bisa punya fungsi lain: bantalan duduk, hehehehe

Akhirnya sampailah kami di ujung perjalanan. Seekor simpanse genit mendekat pada ayah untuk difoto. Walaupun agak sedikit deg-degan, akhirnya kami pun bikin foto keluarga bersama simpanse. Tapi ternyata sang simpanse ngga mau lepas dari Ayah, naksir kali yeeee....hehehe
Foto Keluarga

Ternyata Kebun Binatang Bandung juga punya area bermain untuk anak-anak. Pertama Novel dan Raysa naik kereta-keretaan, bayarnya hanya 2ribu per orang. Lalu masuk ke area bermain, juga 2ribu per orang. Di area bermain ini ada jungkat-jungkit, ayunan, perosotan, tapi tidak semua mainannya dalam keadaan terawat. Beberapa ada juga rusak atau separuh rusak.


Secara keseluruhan, Kebun Binatang Bandung ini cukup menarik. Namun perawatan fasilitas dan pemeliharaan binatangnya kurang baik. Saat melewati beberapa kandang kita terpaksa menutup hidung, hewan-hewannya pun ada yang terlihat tidak begitu sehat. Bagaimana pun toiletnya cukup bersih, hanya fasilitas mushollanya terasa kurang memadai.

Minggu, 27 Januari 2013

Kebun Raya Bogor di Hari Kejepit

Urang Bogor pasti pernah ke Kebun Raya Bogor dong.....Hari itu, kami pun pergi ke Kebun Raya Bogor, biar yakin jadi urang Bogor....hehehehe...

Kami mulai perjalanan dari Cilebut. Ternyata, di hari kejepit itu banyak orang yang pergi berlibur, alhasil, macetlah jalanan....Raysa mulai kepanasan tapi tetap nekad mau ke Kebun Raya. Ketika akhirnya sampai di pintu gerbang Kebun Raya, tak disangka, pintunya tutup. Hah? Kok bisa? Ternyata pintu gerbang yang ada di samping Kantor Pos Indonesia itu memang tutup di hari kerja dan hanya dibuka pada hari Sabtu dan Ahad saja. "Trus, pintu yang dibuka yang mana, Pak?" Si Bapak Tukang Parkir itu menyarankan untuk naik angkot 06 atau 08 menuju pintu utama Kebun Raya Bogor.

Ya, ampun...jadi bisa naik angkot 08 merah? Angkot ini mah lewat di jalan baru...kenapa ga dari tadi aja...*tepok jidat*

mobil dilarang masuk
Pintu gerbang utama ini memang lebih besar dan terlihat jauh lebih keren dari pintu gerbang yang tadi. Ada air yang meleleh di dinding bagian kiri. Untuk membeli tiketnya, kita harus masuk ke sebuah ruangan besar yang hanya diisi oleh stand penjualan tiket. Sayang sekali, ruangan sebesar ini seharusnya bisa digunakan sebagai ruang pamer yang indah. Arsitektur bangunannya sudah mendukung untuk itu. tempat penjualan tiketnya juga kurang memikirkan alur gerak konsumen sehingga orang yang hendak masuk harus berbelok dulu ke kiri, membeli tiket, lalu ke kanan lagi untuk masuk ke Kebun Raya. Sangat tidak praktis menurut saya.

Alhamdulillah, tiketnya murah, hanya 9000 rupiah termasuk asuransi. Karena Raysa belum berusia 5 tahun, dia bisa masuk gratisan, hehehehe

arca di atas bukit
Entah kenapa Raysa takut arca
Begitu masuk, kami langsung disambut oleh deretan pepohonan. "Ayo, Raysa, mau ke mana? Kiri atau kanan?" Objek yang pertama kali kami temui selain pohon adalah patung Durga dan Lembu Sora berukuran sedang yang diletakkan di atas bukit kecil. Kedua patung ini ditemani oleh prasasti bikinan orang Belanda yang kira-kira menyebutkan bahwa kedua patung ini dibawa kesini dari suatu tempat yang berada tak jauh dari kolam air.

Baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba Raysa merasa ingin BAB. Alamak! Di mana toilet? Ternyata toilet letaknya cukup jauh dari situ. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari danau besar yang jadi titik sentral Kebun Raya. "Tahan, ya Dek."

Setelah berjalan cukup jauh, dan mengantri beberapa menit, kami pun kebagian giliran. Tapi ternyata Raysa, "Cuman pipis doang!" yah....sudahlah....setidaknya kan ngga ngompol.

Selesai melepaskan hajat terpendam. Kami pun melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari toilet ada pohon berakar gantung, "Pohon Diego!" tunjuk Raysa. Ia teringat Diego yang bergelantungan dari pohon ke pohon dengan akar gantung.

Selain Pohon Diego, pedestrian menuju toilet ternyata didesain sedemikian rupa menggunakan batuan ukuran agak kecil. Aku jadi membayangkan betapa indahnya Kebun Raya ini saat mula-mula dibuat. Bunga-bunga bakung warna putih yang bermekaran di sepanjang sisi jalan ini sebenarnya bisa terlihat lebih cantik jika lebih terawat. Sayang sekali.

Ke danau kemudian kami melanjutkan perjalanan. Bunga-bunga teratai banyak yang layu, mungkin memang sedang tidak musimnya. Air danau juga berwarna lumut, mengurangi keindahannya. Di ujung danau ini banyak sampah mengapung.
kembang jalanan

Ah, ini dia penyebabnya. Sampah! Sampah berserakan tidak hanya di danau, tapi juga di pedestrian, di bawah-bawah pohon. Kebun Raya yang indah ini jadi terlihat kusam karena sampah-sampah yang berserakan. Padahal tempat sampah ditebar dalam jarak yang relatif berdekatan, tapi tetap saja, sampah bertebaran di mana-mana. Dalam perjalanan pulang, Raysa berinisiatif mengumpulkan sampah yang tercecer di sepanjang jalan pulang dan memasukkannya ke tempat sampah.
Lelah ngumpulin sampah


 Sayang sekali, Kebun Raya seindah ini jadi rusak hanya karena kita tak punya kesadaran akan kebersihan...