Senin, 05 Desember 2011

Kalo Mau Apa-apa, Bilang Baik-baik

Hari Kamis lalu adalah hari yang kacau. Sudah beberapa kali memang Novel bilang bahwa teman-temannya, "Suka ngejahatin kita." Sepekan sebelumnya, Novel pulang dengan bibir biru lebam dan robek kurang lebih setengah senti. Cerita Novel, dia bercanda dengan temannya main tinju-tinjuan. Novel meninju dengan "tidak keras", kemudian temannya memelintir tangannya dan melepaskannya langsung ke lantai. Novel menghamtam lantai dengan mulut terlebih dahulu. Hasilnya, bibir robek, biru lebam, dan tentu saja bengkak.

Kamis lalu tampaknya benar-benar hari yang kacau. Novel memukul setidaknya 6 orang temannya hari itu. Satu orang dipukul matanya sampai menangis. Menurut Novel itu karena temannya mendorong-dorongnya pada saat ia sedang duduk. Sebagai balasannya ia langsung meninju mata temannya. Temannya menangis dan Novel diseret ke sentra sains dan seni, tidak boleh bergabung dengan teman-temannya beberapa waktu (menurut Novel 1 jam, tapi penalaran waktu Novel masih kacau, mungkin merupakan waktu yang lama sekali buat Novel).

Satu orang yang lain menggelitiki Novel dan tanpa sengaja tangan Novel menghantam hidung anak itu. Anak itu tidak menangis dan tidak terjadi apa-apa selanjutnya. Terjadilah semacam perkelahian. Novel meninju anak itu.

Hari Kamis itu ia pun meradang seharian. Aku tak tahu harus bagaimana. Akhirnya keputusannya adalah: Step Back. Mundur dulu selangkah, memikirkan dengan baik apa yang seharusnya dilakukan. It was a very stressing day! Menyadari bahwa aku sendiri dan harus mengambil keputusan sendiri dengan cepat. Keputusan itu, apa pun itu haruslah keputusan yang tepat, tidak boleh salah. Kesalahan di saat seperti ini akan memperburuk situasi.

Aku teringat Raising Boys, buku karangan Steve Biddulph. Bagi Biddulph, membesarkan anak lelaki berbeda dengan anak perempuan salah satunya karena anak lelaki memiliki testosteron yang bertanggung jawab terhadap perilaku agresif. Di buku itu ia menulis bahwa pada usia balita, sekitar 3 hingga 5 atau 6 tahunan, produksi testosteron meningkat. Akibatnya anak lelaki di usia tersebut seperti terpicu tombol kelaki-lakiannya dan tiba-tiba saja jadi menyukai segala hal yang berbau laki-laki. Mereka menyukai pedang-pedangan, pistol-pistolan, film-film aksi seperti Power Ranger, Ultraman, atau Ben 10 yang jadi kesukaan Novel.

Memang akhir-akhir ini, sekolah tampak tidak begitu menyenangkan bagi Novel. Sejak sembuh dari cacar air, Novel memang agak malas pergi sekolah. Sulit sekali dibangunkan pagi-pagi. Padahal ketika awal-awal sekolah dulu ia bersemangat sekali, cukup dibisikkan, "Ayo sekolah..." ia akan langsung bangun. Tapi akhir-akhir ini ia malas sekolah, harus bersabar membangunkannya di pagi hari baru bersedia mengangkat badan menuju kamar mandi.

Bulan Oktober lalu dia juga minta Ibu untuk memarahi gurunya karena, "Marahin kita terus," katanya. Aku memang datang ke sekolahnya setelah itu untuk konfirmasi. Menurut gurunya itu karena Novel sangat tidak mau diatur. Ia tidak mau duduk pada saat harus duduk diam.

Ngobrol-ngobrol dengan Novel tentang peristiwa Kamis itu. Aku mencatat semua ceritanya, tiba-tiba dia yang muram, langsung semangat begitu mengetahui bahwa Ibu akan bicara dengan Bu Guru tentang kejadian hari itu. Novel pun langsung semangat bercerita. Walaupun dia hanya ingat 3 dari 6 kejadian di hari itu.

Hhhh...tampaknya ini bukan soal agresivitas atau testosteron. Keduanya mungkin hanya alat untuk cari perhatian. Mungkin selama ini ia merasa kurang diperhatikan. Baiklah....mungkin perhatian adalah jawabannya.

Aku pun merancang cepat program yang harus dilancarkan demi menghilangkan agresivitas ini. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, penyederhanaannya menjadi, "Kalo mau apa-apa, bilang baik-baik". Novel sudah paham, bilang baik-baik berarti bicara dengan sopan dan baik.

Sepulang ngajar hari Kamis itu. Aku mendapat laporan luar biasa. Novel hampir melindas kaki adiknya dengan kursi beroda, memukul Mpok Ati, pengasuhnya, dengan bangku, melempar-lempar bangku, bahkan di depan mataku melempar bangku ke arah Mpok Ati dan melempar-lempar pakaian yang sudah dirapikan oleh Mpok Ati.

Aku segera berlalu khawatir meledak-ledak melihat kelakuannya yang sangat tidak sopan. Novel mengikuti dan memelukku. Yah...dia hanya ingin perhatian. Aku pun mulai melancarkan aksiku. Menjelaskan pelan-pelan bagaimana seharusnya berperilaku. Membahas semau perilaku buruknya hari itu. Satu kelebihan Novel, dia sangat pandai diajak bicara. Sampai akhirnya dia tenang.

Hari itu, dengan bicara lemah lembut dan janjian, "Kalo mau apa-apa, bilang baik-baik," Novel mau meminta maaf pada Mpok Ati, meminta maaf pada Raysa. Kemudian ia pun mau berbagi permen Yupi dengan Raysa, dengan Ibu, dengan Mpok Ati. Subhanallah! kemajuan luar biasa, hanya dengan mengubah cara bicara.

Sampai hari Ahad kemarin Novel sudah menunjukkan perkembangan luar biasa. Ia tak lagi marah-marah tak terkendali jika ada yang tak berkenan di hati. Ia tak langsung membanting mobil-mobilannya ketika mainannya itu ga mau jalan. Ia tak langsung membanting gitar-gitaran Raysa ketika marah. Subhanallah! benar-benar pengendalian diri yang luar biasa bagi anak lima tahunan dengan konsentrasi testosteron yang tinggi.

Semoga Novel bisa terus seperti ini. Semoga Novel menjadi anak dengan kecerdasan emosional tinggi. Semoga Novel selalu menjadi anak yang sholeh. Semoga Ibu diberi kesabaran dan keteguhan sebagai Ibu Novel....Amiiiinnn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar