Ternyata tiap anak memang beda-beda ya...dulu kupikir, emang dari sononya anak-anak suka bergaya di depan kamera. Tapi ternyata ada yang memang suka bergaya di depan kamera, tapi ada juga yang lebih peduli pada proses terciptanya gambar di kamera, hehehe.
Anak ibu termasuk yang mana?
Termasuk yang mana pun ga masalah kan? Saya pernah membaca ungkapan, "Orangtua hanya perlu menyediakan pesawat sebagai sarana bagi anak untuk melejit, terbang tinggi". Mengenai ke mana si anak ingin atau akan terbang, biarlah anaknya yang memutuskan.
Namanya juga menyediakan pesawat, pasti biayanya mahal ya, Bun...Tapi kalau mau terbang, ya...pake pesawat...hehehe. Yang saya maksud biaya di sini bukan cuma biaya material yang bisa dihitung dengan uang, tapi mungkin juga yang tak terhitung oleh uang. Ketika usia Novel 3,5-an tahun, ia sudah bisa membaca. Saat itu kami memiliki kamera poket berbahasa Indonesia. Novel pun sudah pandai mengutak-atik kamera karena menunya berbahasa Indonesia. Suatu sore ia melapor, "Ayah, fotonya udah kita apus semua." Ayah hanya bisa melongo, foto-foto di memory card belum sempat ditransfer ke laptop. Itu berarti memori ketika Raysa aqiqah, ketika jalan-jalan sama Eyang, hilang semua....hiks....Yah...biaya dari sebuah eksplorasi.
Asal orangtua cukup perhatian terhadap anak, bakat anak akan bisa terdeteksi sejak dini. Trus kalo udah ketahuan gimana? Yah...tinggal dikembangkan aja, hehehe...
Trus gimana ngembanginnya? Setelah umur tujuh tahun mungkin bisa diikutkan sekolah berbasis talent yang sesuai dengan bakatnya. Tapi kalo masih di bawah tujuh tahun, biar saja dia bermain-main dulu. Seperti Raysa bermain-main dengan gayanya, atau Novel bermain-main dengan bola atau resep masakannya. Ga usah buru-buru, Bunda...jangan sampai bakat besar anak-anak kita layu sebelum berkembang karena salah dalam mengasahnya... Yuk Raysa...gaya cantiknya mannnnaaaaa....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar