Saya agak sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca salah satu aitem dalam kemampuan sosial di buku laporan sekolah Novel. Aitem itu menekankan pada penggunaan kata aku atau saya untuk menyebut diri sendiri.
Menurut saya, ini aitem yang aneh. Mengapa seorang anak TK B yang rata-rata berusia 5 tahunan, wajib menyebut diri sendiri dengan sebutan aku? Apakah ini merupakan aplikasi dari tugas perkembangan mengenai pembentukan self? Apakah terbentuk atau tidaknya self dapat dilihat dari penggunaan kata aku atau saya?
Yah...kalau kita hidup di lingkungan yang menggunakan kata aku atau saya sebagai kata ganti orang pertama, maka aitem ini jadi sah-sah saja. Tapi TK Novel terletak di Bekasi, di mana banyak orang dari banyak suku bangsa tumplek di sini. Apakah aitem ini sudah sesuai dengan budaya Bekasi? Apakah aitem ini sudah dapat diterapkan di Bekasi yang dihuni oleh beragam suku bangsa dan budaya?
Karenanya saya berkesimpulan: aitem ini sangat tidak ramah budaya. Saya tidak tahu apakah aitem ini juga ada di semua rapor anak TK di seluruh Indonesia. Saya lahir di keluarga Minang yang kental sekali menggunakan budaya Minang. Dalam budaya Minang, sangat tidak sopan untuk menyebut diri dengan sebutan "Aku". Anak yang menyebut dirinya dengan sebutan "Aku" akan dianggap tidak sopan, atau dalam bahasa Betawi sini disebut songong alias tidak menghormati orangtua. Dalam budaya Minang, penyebutan diri sendiri pada orang yang sudah dianggap dekat atau pada orangtua adalah dengan menyebut nama. Sedangkan penyebutan diri sendiri untuk orang yang belum dikenal dekat atau yang lebih tua atau yang dihormati adalah, "Ambo". Sementara kata yang sepadan dengan "Aku" dalam bahasa Minang adalah "Den" atau "Aden" dianggap sebagai kata yang rendah kastanya, yang hanya diucapkan pada orang yang sangat dikenal dekat atau orangtua pada anaknya.
Dalam Bahasa Jawa terdapat setidaknya dua kata untuk menyebut diri. Pertama adalah kata "Aku" yang merupakan kata ganti orang pertama dalam bahasa ngoko atau bahasa level rendah. Kata ini digunakan untuk berbicara pada orang yang sudah dikenal, atau orangtua pada anaknya, atau yang tua kepada yang muda, atau yang kedudukan sosialnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Kata ini juga digunakan dalam pembicaraan dengan teman sebaya. Kedua adalah kata "Kula" (dibaca kulo dengan vokal o antara a dan o). Kata ini adalah kata ganti orang pertama dalam bahasa krama (dibaca kromo). Kata ini digunakan anak kepada orangtuanya, atau yang kedudukan sosialnya lebih rendah kepada yang lebih tinggi, atau yang muda kepada yang tua, atau dalam pembicaraan dengan orang-orang yang belum dikenal akrab. Kata ini dianggap lebih halus daripada kata "Aku".
Nah, Novel terbiasa menggunakan kata "Kita" untuk menyebut dirinya. Sebagai penutur Bahasa Indonesia, tentunya aku menganggap kata "Kita" sebagai kata ganti orang pertama yang menyatukan antara orang pertama dan kedua: "Kita = Aku + Kamu".
Awalnya aku berusaha agar Novel menggunakan kata "Kita" sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hingga suatu hari saat naik angkot, aku mendengar sopir angkotnya menggunakan kata "Kita" sebagai pengganti kata "Aku". Kata "Kita" ternyata adalah kata ganti orang pertama tunggal dalam bahasa Betawi Bekasi. Penggunaannya sepadan dengan kata "Kula" dalam bahasa Jawa atau "Ambo" dalam bahasa Minang. Dengan kata lain, dalam konteks Bahasa Betawi Bekasi, Novel sudah berbicara dalam bahasa yang halus. Jadi, kenapa harus khawatir?
Akhirnya, aku membiarkannya menggunakan kata "Kita" sebagai kata ganti orang pertama. Toh, itu bukan kata kasar, itu bukan kata kotor. Malahan kata "Kita" adalah kata yang halus, yang berarti Novel menggunakan kata-kata yang baik...jadi biarkan saja. Lagipula kami tinggal di Bekasi, apa salahnya Novel menggunakan Bahasa Betawi Bekasi selama bahasa yang digunakan adalah bahasa yang baik. Bukan begitu, Ayah Bunda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar