Selasa, 05 Januari 2016

Keluargaku



Memandang kertas putih itu sangat menyebalkan! Ah! Kenapa harus ada tugas Bahasa Indonesia? Rasanya ingin menghantamkan kepala ke tembok itu. Kepalaku pusing memikirkan kata-kata. Bagaimana harus memulai sebuah karangan?
Aku menarik napas. Kulihat Mama membetulkan letak kacamatanya sambil memperhatikan layar ponsel. Setiap saat, hanya itu yang Mama lakukan. Matanya hanya beralih dari layar ponsel ke layar laptop lalu layar ponsel lagi dan kemudian laptop lagi. Kapan mata Mama beralih padaku?
Kertas putih di hadapanku masih kosong. Ups! Salah! Aku tahu sekarang, apa yang harus kutulis. ‘Keluargaku’, tema tugas kali ini bisa kujadikan judul, setidaknya mengurangi intimidasi dari kertas putih. Tapi, apa yang harus kutulis tentang ‘keluargaku’?
Mama masih memegang ponsel. Sekarang matanya menekuri layar laptop. Jarinya mahir bermain di atas keyboard. Aku menahan napas, hanya Mama keluarga yang kupunya. Mungkin, sebaiknya aku menuliskan tentang Mama saja?
Papaku entah dimana. Mama bilang, dia pergi tapi sampai sekarang tak pernah kembali. Kukira Papa sudah mati, tapi Mama tak pernah mau menunjukkan kuburnya berapa kali pun aku meminta. Setidaknya, dia sudah mati dalam kehidupanku. Jadi, biarlah kukeluarkan Papa dari daftar ‘keluargaku’.
Tinggal Mama, satu-satunya yang ada dalam daftar keluarga. Tapi, rasanya Mama pun sudah tak ada. Dia selalu duduk di sana, di balik meja kerjanya. Berkutat dengan kertas-kertas nota dan layar-layar berpendar. Sesekali ia pindah untuk mengemas barang. Pebisnis online memang tak perlu toko, cukup ponsel, laptop, dan barang. Kurasa aku pun sudah ‘mati’ dalam kehidupan Mama. Aku melirik kalender meja di hadapan, kapan terakhir kali bicara dengan Mama, ya?
Apa keluarga namanya jika kami tak pernah saling bicara? Bertatapan mata pun aku sudah lupa rasanya. Apa keluarga namanya jika aku tak pernah bertatapan mata dengan Mama?
“Miaw!” Catie datang menghampiriku.
“Hai, Catie!” kuraih ia masuk dalam pelukanku, “kemana aja kamu? Kok baru pulang?”
“Miaw!” Catie menggosokkan kupingnya ke daguku.
“Ih, geli, ah!” Kutatap mata Catie. Dia balas menatapku, tersenyum padaku.
Aku tahu sekarang! Akan kutulis tentang Catie. Satu-satunya keluargaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar