Sabtu, 14 Januari 2012

Raising Boys: Parenting Book for Critical Mind



Raising Boys adalah salah satu buku karangan Steve Biddulph yang mampir ke rumahku dengan bantuan Umi tercinta. Umi membawa buku ini jauh-jauh dari Solo supaya aku bisa mendapatkan bantuan dalam mendidik anak lelaki.

Menurut Biddulph, level testosteron yang meningkat di usia 5 tahunan membuat anak jadi makin tertarik dengan hal-hal yang berbau agresif. Mereka mungkin akan melupakan teddy bear-nya dan beralih ke pistol-pistolan atau pedang-pedangan. Sejujurnya, inilah yang aku perhatikan terjadi pada Novel. Perubahan ini mulai terlihat sejak Novel berusia 3 tahunan. Ia mulai tidak menyukai Dora atau Diego dan mulai beralih ke Ben10 dan Ultraman. Di usia 5 tahun sekarang, dia benar-benar sudah tidak tertarik lagi dengan Dora atau Teletubbies dan minta dibelikan pistol-pistolan atau robot-robotan.


Terus terang ini adalah buku parenting yang pertama kali aku baca, yang menekankan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kebanyakan buku-buku parenting lainnya kurang mendalami perbedaan ini. Menurut Biddulph, perbedaan ini terjadi karena testoteron pada laki-laki.Sebagaimana telah jamak diketahui, testosteron memegang peranan penting dalam perilaku agresif seseorang. Itulah yang membuat lelaki menjadi lelaki.
Steve Biddulph

Biddulph pun memberikan saran dalam membesarkan anak lelaki dengan mempertimbangkan kondisi hormonal ini. Pada usia bayi hingga 5 tahunan, peran ibu menjadi pusat dalam perkembangan anak lelaki. Namun mulai usia 5 tahunan, saat level testosteronnya meningkat, ibu diharapkan mulai bergerak ke pinggir dan ayah bergerak ke pusat perkembangan anak. Tujuannya adalah agar anak lelaki ini belajar bagaimana caranya menjadi lelaki.


Level testosteron yang meningkat akan meningkatkan agresivitas. Anak akan sangat menyukai main berantem-beranteman, perang-perangan, dan sejenisnya. Bukannya tak mungkin akan terjadi perkelahian dengan teman sebaya pada usia ini. Di sinilah peran ayah diperlukan. Biddulph menyarankan ayah untuk bermain berantem-beranteman dengan anak dan mengajarkan kapan harus berhenti. Tujuannya agar anak belajar untuk mengendalikan perilaku agresifnya yang nanti juga akan muncul lagi pada saat pubertas. Pembekalan mengenai kapan harus berhenti ini penting agar anak sadar kapan perilakunya menjadi kelewatan.

Ada satu hal yang kurang aku sepakati mengenai penjelasan Biddulph tentang rentang masa ini. Menurut Biddulph seharusnya anak lelaki dibiarkan agak lambat masuk sekolah dasar karena perkembangan motoriknya tidak mendukung untuk itu. Banyak anak lelaki yang masih belum menguasai kemampuan motorik halus dengan baik pada masa ia harus masuk sekolah dasar. Sementara berdasarkan pengalamanku, Novel sudah bisa memegang pensil dengan baik sejak usia 2 tahun. Dan di usia 5 tahun ia sudah bisa mewarnai dengan cat air. Jadi untuk urusan kemampuan motorik halus, rasanya Novel sudah cukup baik untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah dasar.

Setelah melewati masa adem ayem beberapa tahun di usia SD, anak lelaki akan kembali mengalami peningkatan level testosteron pada masa pubertas. Biddulph menekankan pentingnya mentor pada masa ini. Mentor adalah seorang laki-laki lain di luar keluarga yang bisa membimbing anak lelaki menjadi dewasa di lingkungannya. Mentor diperlukan karena pada masa ini anak ingin lepas dari orangtuanya sehingga kata-kata orangtua selalu terlihat salah. Kabar baiknya, jika ada lelaki dewasa lain yang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan oleh orangtua, maka anak cenderung akan mendengar lelaki lain itu. Karenanya penting bagi orangtua untuk bekerjasama dengan mentor, malah akan lebih baik jika orangtua ikut andil dalam memilih mentor ini.

Level testosteron yang tinggi juga berdampak pada ketertarikan dengan lawan jenis. Biddulph bahkan memaparkan penelitian yang menyimpulkan bahwa remaja laki-laki yang memiliki pengalaman seksual dini lebih dapat mengendalikan agresivitasnya dibanding mereka yang tidak memiliki pengalaman seksual sama sekali. Walaupun ia tidak menyarankan pengalaman seksual dini untuk remaja laki-laki, namun pemaparannya membuat pembaca berpikir ke arah sana.

Secara garis besar buku ini layak untuk jadi bahan pertimbangan. Terutama untuk memahami prilaku-perilaku anak-anak lelaki yang memang berbeda dengan anak perempuan. Namun banyak bagian dari buku yang harus dibaca dengan kritis. Misalnya tentang testosteron. Manusia adalah makhluk biologis, tak ada perdebatan mengenai hal itu. Namun Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk dan Allah juga mengingatkan bahwa manusia juga bisa menjadi lebih hina dari ciptaan-Nya yang terhina.

Kondisi hormonal memang berpengaruh pada perilaku, namun kabar baiknya, Allah telah melengkapi manusia dengan akal. Akal yang membuat manusia berbeda dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Jadi seharusnya, setinggi apa pun level testosteronnya, panduan dari Allah akan dapat membantu kita menjadi manusia berakhlak mulia.

Dalam Islam tidak dikenal pubertas atau masa peralihan. Setelah anak memasuki usia baligh maka ia sudah dewasa. Dia dianggap sudah mampu bertanggungjawab terhadap perilakunya sendiri. Maka seharusnya, tugas orangtua adalah mempersiapkan anak memasuki usia baligh, agar di usia baligh seorang anak benar-benar sadar akan tanggungjawabnya sebagai seorang muslim.

Ga heran kan Nabi Muhammad ikut berdagang ke Syam sejak usia belasan tahun. Usamah bin Zaid mulai ikut berperang di usia 14 tahun. Itu semua karena mereka sudah baligh, sudah menyadari tanggungjawabnya sebagai seorang dewasa.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar