"Tak ada yang kebetulan di ini" kata-kata dari Abah Rama ini terngiang-ngiang sepanjang saya memikirkan tugas kedua di Matrikulasi Institut Ibu Profesional. "Membangun Peradaban Dari Rumah" demikianlah judul dari materi ini.
Bisa dibilang, ini adalah kali ketiga kami bersinggungan dengan kata 'Misi Keluarga'. Saya masih ingat kali pertamanya adalah bersama Abah Rama yang benar-benar membuka mata tentang pengertian 'misi'. Misi adalah tujuan hidup kita di dunia. Misi ini diberikan oleh Allah SWT, karena Allah-lah yang menciptakan kita di dunia ini. Bersama dengan penciptaan kita, Allah juga menciptakan berbagai perbekalan yang akan mendukung misi hidup kita di dunia. Potensi atau bakat adalah salah satunya.
Kali kedua persinggungan kami dengan misi keluarga adalah saat mengikuti School for Homeschool Facilitator. Di sini, Pak Dodik menjelaskan pentingnya misi dan visi keluarga. Jika misi diberikan langsung oleh Allah, visi ditetapkan oleh masing-masing keluarga. Visi terbaik adalah yang sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT. Visi yang sejalan dengan misi akan membuat jalan hidup keluarga terasa mudah dan menyenangkan.
Kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional menjadi kali ketiga persinggungan kami dengan misi keluarga. Kali ini perumusan visi dan misi keluarga menjadi lebih gamblang. Semua dimulai dari mengenali dan memahami potensi masing-masing anggota keluarga. Apa potensi saya? Apa potensi suami? Kenapa Allah mempertemukan saya yang memiliki potensi begini dengan suami yang memiliki potensi begitu? Apa hasil sinergi kami yang membantu kami menjalani misi hidup kami masing-masing dan mendukung misi terbentuknya keluarga ini?
Kenapa Allah mempertemukan kami dan membimbing kami membentuk keluarga? Apa peran yang disiapkan Allah untuk kami ambil sebagai bagian dari bangunan peradaban manusia?
Rentetan pertanyaan yang membutuhkan waktu lama untuk meraih jawaban. Sepekan rasanya tak cukup, apalagi hanya satu jam duduk berdua, bicara dengan suami.
Saya dan suami memiliki potensi yang sama dalam hal kepemimpinan, namun di ranah yang berbeda. Suami memiliki kekuatan sebagai seorang Commander sedangkan saya adalah Arranger. Dari sini terlihat sinergi kami. Saya berperan sebagai penatalaksana sementara suami mengambil peran sebagai penentu kebijakan dan pengambil keputusan. Dalam hal kepemimpinan, saya melihat hal yang mirip pada NoFail dan Raysa. NoFail kerap sebagai Commander dan Raysa menjadi Arranger handal, mungkin mereka berdua meniru gaya kepemimpinan kami.
Potensi saya lainnya adalah Ideation. Saya hadir dalam keluarga sebagai pembawa ide-ide baru kegiatan kami. Kekuatan ini juga dimiliki NoFail, Ideation yang tinggi perlu diasah agar lebih tajam. Kekuatan Raysa yang lain adalah Empathy. Dia sangat perhatian akan kebutuhan orang lain dan selalu siap sedia menolong tanpa disuruh.
Semua potensi telah dipetakan. Tiba waktunya meletakkan semua potensi itu dalam konteks waktu dan tempat. Kenapa kami sekeluarga, dengan potensi-potensi sedemikian rupa, ditempatkan Allah disini sekarang ini?
Alhamdulillah, memang kami rasakan, keluarga kami makin berkembang setelah tinggal di Cilebut ini. Perumahan ini bukanlah tempat yang ideal memang. Tentu saja banyak kekurangan disana sini. Namun sebagai keluarga, saya merasa kami semakin baik dalam banyak hal hanya dalam waktu 4 tahun tinggal disini. Banyak kesempatan belajar yang kami raih, banyak kesempatan bertemu dengan komunitas yang menaikkan level diri. Seolah Allah sedang membimbing kami menuju suatu tempat yang sudah disiapkan. Itulah yang saya rasakan.
Kami tinggal di lingkungan yang umumnya didiami oleh pasangan muda dengan anak-anak yang relatif seusia dengan anak-anak kami. Ini merupakan potensi pertama yang saya amati. Saya melihat pada potensi anak saya, NoFail. Dia seorang Commander yang penuh ide. Di antara teman-temannya, dia sudah berkali-kali menjadi pemimpin yang melontarkan ide-ide untuk kegiatan bermain bersama. Saya mulai melihat kesempatan untuk mengasah potensi kepemimpinannya dan menjadi orang yang memberi warna serta manfaat bagi teman-temannya. Mungkin ini adalah misi hidup yang digariskan Allah untuknya dan tinggal disini adalah kawah candradimuka untuk mengasah kemampuannya.
Saya pun melihat hal yang sama pada diri Raysa. Bedanya, pada Raysa potensinya di bidang seni-lah yang diasah disini. Kebetulan sekali di dekat tempat tinggal kami berdiri sekolah tari dan musik yang sudah berpengalaman di bidang ini. Ayodyapala, nama sekolah ini, sudah berdiri sejak tahun 80-an dan memiliki beragam prestasi tingkat nasional. Disinilah Raysa mengasah potensi fisiknya sebagai penari.
Sejauh ini, saya baru melihat lingkungan tempat tinggal kami sebagai tempat belajar dalam mempersiapkan diri dan keluarga untuk memberi manfaat yang lebih luas lagi bagi peradaban manusia. Semoga Allah ridhai perjalanan keluarga ini dalam menggapai ridha-Nya, aamiin.
Minggu, 22 Mei 2016
Kenapa? Untuk Apa?
Selasa, 12 Januari 2016
Novel Sang Arranger
Hari ini Novel memutuskan untuk resign dari pekerjaan menyapu dan mengepel. Kedua pekerjaan itu didelegasikan kepada Kakak Raysa. Novel memilih merapikan rumah, membersihkan kamar mandi, dan menjemur pakaian.
Baiklah, mungkin kita butuh penyegaran.
Jadilah, hari ini Raysa magang menyapu dan mengepel. Ibu dan Eyang yang menjadi supervisornya. Sementara Novel merapikan rumah sendiri. Ia sudah memahami bagaimana cara merapikan barang-barang dan menyusunnya hingga terlihat sedap dipandang mata.
Hasilnya menakjubkan. Kabel-kabel yang berseliweran menjadi terlihat ringkas dan resik. Tempat tidur Dede Aida pun jadi terkesan luas karena Novel berhasil menyusun barang-barang yang bertebaran. Meja buku Novel dan Raysa pun terlihat sedap dipandang, bukan lagi berantakan.
Aih! Luar biasa sekali hasilnya hari ini. Saya sebagai ibunya hanya bisa takjub, benar-benar tak menyangka. Tadinya saya kira potensi kepemimpinan Novel hanya 'command'. Hari ini ia menunjukkan potensinya yang lain, 'arranger'.
Sekali lagi saya 'dijitak', tampaknya sudah lama saya tidak 'memperhatikan'.
Baiklah, mungkin kita butuh penyegaran.
Jadilah, hari ini Raysa magang menyapu dan mengepel. Ibu dan Eyang yang menjadi supervisornya. Sementara Novel merapikan rumah sendiri. Ia sudah memahami bagaimana cara merapikan barang-barang dan menyusunnya hingga terlihat sedap dipandang mata.
Hasilnya menakjubkan. Kabel-kabel yang berseliweran menjadi terlihat ringkas dan resik. Tempat tidur Dede Aida pun jadi terkesan luas karena Novel berhasil menyusun barang-barang yang bertebaran. Meja buku Novel dan Raysa pun terlihat sedap dipandang, bukan lagi berantakan.
Aih! Luar biasa sekali hasilnya hari ini. Saya sebagai ibunya hanya bisa takjub, benar-benar tak menyangka. Tadinya saya kira potensi kepemimpinan Novel hanya 'command'. Hari ini ia menunjukkan potensinya yang lain, 'arranger'.
Sekali lagi saya 'dijitak', tampaknya sudah lama saya tidak 'memperhatikan'.
Jumat, 08 Januari 2016
Dede Jadi Kakak
"De, handuknya tolong langsung dijemur, ya," aku mengingatkan Raysa.
Raysa diam saja, seperti tidak mendengar. "De, tolong handuknya," aku mengulangi sepotong saja, yakin Raysa hanya pura-pura tak mendengar. "De, ibu didenger ngga?" ini ketiga kalinya dan ajaib, Raysa langsung mendongak. "Handuk siapa?" tanyanya spontan. Aku tersenyum menarik napas, "Maaf, Kakak, tolong handuknya langsung dijemur."
Setelah 6 tahun menjadi bungsu, sekarang Raysa sudah punya adik. Dia tak mau lagi dipanggil 'Dek'. Sekarang Raysa adalah 'Kakak'.
Menjadi 'Kakak' berarti punya tanggungjawab terhadap adiknya. Raysa senang sekali menjadi penjaga adiknya. Ia akan bernyanyi untuk adiknya, mengajaknya bicara, bahkan muroja'ah di hadapan adiknya. Untuk urusan momong, Raysa sedikit demi sedikit sudah berevolusi menjadi ahli.
Yang susah 'move on' itu ayah ibunya. Masih saja menganggap Raysa sebagai 'puteri kecilnya'. "Aku udah jadi 'Kakak', Ibu."
Raysa diam saja, seperti tidak mendengar. "De, tolong handuknya," aku mengulangi sepotong saja, yakin Raysa hanya pura-pura tak mendengar. "De, ibu didenger ngga?" ini ketiga kalinya dan ajaib, Raysa langsung mendongak. "Handuk siapa?" tanyanya spontan. Aku tersenyum menarik napas, "Maaf, Kakak, tolong handuknya langsung dijemur."
Setelah 6 tahun menjadi bungsu, sekarang Raysa sudah punya adik. Dia tak mau lagi dipanggil 'Dek'. Sekarang Raysa adalah 'Kakak'.
Menjadi 'Kakak' berarti punya tanggungjawab terhadap adiknya. Raysa senang sekali menjadi penjaga adiknya. Ia akan bernyanyi untuk adiknya, mengajaknya bicara, bahkan muroja'ah di hadapan adiknya. Untuk urusan momong, Raysa sedikit demi sedikit sudah berevolusi menjadi ahli.
Yang susah 'move on' itu ayah ibunya. Masih saja menganggap Raysa sebagai 'puteri kecilnya'. "Aku udah jadi 'Kakak', Ibu."
Langganan:
Postingan (Atom)